Bu Satinem, Penekun Tulen Jajanan Tradisional Jawa
METROTVNEWS.COM – Jarum jam menunjukkan pukul 06.00 WIB pagi. Seorang ibu nampak menata dagangannya di emperan toko di Jalan Diponegoro, Yogyakarta. Ada tiwul, gatot, cenil, dan lopis — khas jajanan Jawa.
Tidak lama, pembeli mulai menyemut mengerubungi dagangan Bu Satinem. Tidak lebih dari pukul 08.30 WIB, dagangan Bu Satinem sudah ludes.
“Biasanya masih ada pembeli yang datang meskipun dagangan sudah habis, kasihan,” kata Bu Satinem sambil menghela nafas di sebelah Mukinem, anaknya yang selalu membantunya berjualan, Sabtu, 15 April 2017.
Meskipun hanya berjualan di emperan toko, jajanan tradisonal Bu Satinem terkenal lezat. Bahkan, sejumlah orang rela menunggu sebelum Bu Satinem datang demi mendapatkan kudapan favorit mereka.
Bu Satinem berkisah, dulu orangtuanya juga berjualan ragam jajanan tradisional. Mulanya, ia hanya sebatas membantu orangtuanya berjualan jajanan, matapencarian penopang perekonomian keluarga.
Baru pada tahun 1963, Bu Satinem mulai berjualan jajanan tradisional secara mandiri. Semua jajanan ia masak sendiri berdasarkan resep yang diwariskan secara turun-temurun.
Mulai Dengan Dagang Keliling Jalan Kaki
Ia biasa mulai memasak pukul 00.00 WIB dengan dibantu tiga anaknya. “Masaknya ya pakai kayu,” tambah Bu Satinem.
Pada hari biasa, Bu Satinem mengaku menghabiskan beras sebagai bahan utama jajanan hingga delapan kilogram. Jika hari libur, bisa mencapai 10 kilogram beras. Jika ada pesanan, bisa lebih banyak lagi.
Ketika memulai berdagang sendiri, Bu Satinem berkeliling menjajakan dagangannya dengan berjalan kaki di sekitar kawasan Kota Yogyakarta. Pukul 04.00 WIB ia sudah berangkat dari kediamannya di Salakan, Trihanggo, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, sambil menggendong seluruh dagangannya.
“Pulangnya sampai rumah sore,” ungkapnya.
Hingga suatu ketika, Bu Satinem menemukan tempat berjualan di depan sebuah ruko. Apalagi, fisik Bu Satinem tak lagi mendukung untuk berjalan jauh.
Bu Satinem biasanya berangkat ke lokasi jualan sekitar jam 05.00 WIB dari rumah dengan diantar naik motor oleh seorang puterinya, Mukinem, yang selalu mendampingi.
“Dulu itu antarnya naik sepeda, sekarang sudah pakai motor,” ujarnya.
Meski punya banyak pelanggan setia, Bu Satinem tidak memaksakan diri. Kalau merasa capek atau kurang sehat, Bu Satinem memutuskan tidak berjualan. Termasuk setiap bulan Ramadhan dan selama libur Lebaran.
Dari berjualan jajanan tradisional, Bu Satinem mengaku bisa menanggung biaya hidup keluarga. Termasuk memberi uang jajan untuk cucu-cucunya ketika Lebaran datang.
Langganan Hotel dan Presiden Suharto
Kelezatan jajanan tradisional Jawa buatan Bu Satinem ternyata sudah melegenda. Bahkan dulu Presiden Soeharto juga kerap makan lupis, gatot, dan tiwul buatannya.
Saat itu, kata Bu Satinem, pernah beberapa kali sejumlah orang berpakaian rapi membeli jajanannya. Belakangan, ia tahu jika orang-orang tersebut ajudan Pak Harto.
“Mereka akhirnya cerita. Kalau tahu dari awal, niatnya mau saya kasih lebih,” kisahnya.
Hingga kini, pelanggannya tak hanya mereka yang mampir di tempat jualannya di emperan toko. Jajanan buatan Bu Satinem, yang masih menggunakan daun pisang ini, diminati sejumlah hotel di Yogyakarta.
“Orang perwakilan hotel biasanya datang untuk memesan. Pesan hari ini untuk besok atau beberapa hari ke depan,” terang Bu Satinem.
Beberapa wisatawan dari sekitar Yogyakarta maupun dari luar daerah juga sering datang dan memesan untuk oleh-oleh. Bahkan, ada pembeli yang minta untuk mengirimkan pesanannya ke luar kota.
“Kalau orang luar daerah yang pesan, makanan yang gampang basi dipisah, biar awet bisa sampai rumah,” kata dia.
Satu porsi lupis, gatot, tiwul, dan cenil buatan Bu Satinem dibanderol dengan harga Rp 5 ribu. Sementara, paket komplit berisi enam jenis jajanan yang biasanya dipesan untuk acara, dipatok dengan harga Rp150 ribu.
“Saya tidak menargetkan bisa menjual berapa dan dapat hasil berapa. Dapat berapa pun yang penting kita syukuri,” ungkapnya. :: METROTVNEWS.COM/apr2017