Bu Edi Sedapkan Nama Tengkleng Ke Luar Solo
[SUARAMERDEKA+SUARAKARYA] – Dari ketika memulai usahanya pada tahun 1971 hingga kini, warung Bu Ediyem tetap itu-itu juga. Lokasinya di pojokan luar Pasar Klewer, Solo, Jawa Tengah. Enam panci bakulan dijejerkan rapi di atas sebuah meja ukuran 1m X 2 m, sebuah bangku panjang disediakan buat tamu, dan makanan dihidangkan dalam pincuk (semacam wadah dari tekukan daun pisang).
Bu Edi, demikian nama pendeknya, adalah salah satu dari sekian banyak pedagang tengkleng, makanan khas Solo sejenis gulai kambing tetapi tidak dimasak dengan santan. Dengan demikian, tengkleng lebih ringan, lebih segar, dan lebih ‘menggigit’ karena dikombinasikan dengan cabai rawit. Yang membuatnya spesial adalah penggunaan tulang sumsum, kepala dan jerohan kambing. Walau tengkleng bertebar di Solo, mengapa Warung Bu Edi yang selalu dipuji dan direkomendasi? Begitu tenarnya tengkleng Bu Edi sampai terpilih menjadi Duta kota Solo pada Festival Jajanan Bango 2008.
Ketika Harian Suara Merdeka menjumpainya di tahun 2002, Bu Edi berkata: “Ndak ada rahasianya. Tengkleng di mana-mana ya sama. Mungkin hanya masalah rasanya saja yang berbeda,” katanya. “Benar lho, bumbu yang saya pakai juga bumbu yang biasa dipakai untuk gulai. Sama dengan penjual tengkleng yang lain. Sebab, beda gulai dari tengkleng ‘kan cuma pada santannya. Gulai bersantan, tengkleng tidak….Kalau aslinya, ya tengkleng itu gulai tidak bersantan,” papar ibu berputera lima itu.
“Semua bumbu itu dimasak bersama cacahan kepala, tulang-belulang, dan kaki kambing selama dua jam.” Ada yang berpendapat bahwa pengalaman turun-temurun yang membedakan tengkleng Bu Edi. Ia sendiri sudah berjualan lebih dari 35 tahun. “Saat itu usia saya baru 19 tahun. Ini turunan kok. Ibu dan nenek saya juga berjualan tengkleng. Bahkan, kini puteri kedua saya membuka usaha serupa di Pasar Oleh-oleh Jongke,” kata Bu Edi kepada Suara Merdeka.
Warungnya buka jam 14:00-14:30 dan biasanya dalam waktu dua jam saja dagangan sudah habis. “Dalam satu hari kami menghabiskan sebanyak enam ekor kambing,” Bu Edi menjelaskan. “Sebenarnya untuk memasaknya tidak memerlukan waktu yang lama, hanya butuh waktu dua jam. Namun, yang lama adalah membersihkan, memilih-milih dan memisah-misahkan dagingnya.”
Tengkleng sebagai hidangan asli Solo telah memperoleh nilai tambah melalui ketekunan Bu Edi sehingga kini menjadi satu lagi kebanggaan kulinari kota Solo — selain Nasi Liwet, Timlo dan Sate Buntel. Dari rumahnya di Kampung Yosodipuran RT01/RW03, Kelurahan Kedunglumbu, Pasar Kliwon, Solo, Bu Edi juga menerima pesanan yang datang terus-menerus dari hotel-hotel, rumah-rumah katering, restoran-restoran dan perorangan di Solo maupun kota-kota lain di Jawa. Langganannya juga meliputi pejabat-pejabat tinggi yang mempunyai ikatan historis dengan Solo.
SOLOPOS – Ratusan orang memadati rumah Bu Ediyem di Yosodipuran RT 003/RW 001, Kedunglumbu, Pasar Kliwon, Senin (14/12/2015) sekitar pukul 13.00 WIB. Mereka berbela sungkawa atas wafatnya salah satu tokoh kuliner di Kota Bengawan tersebut. Ediyem meninggal dunia pada usia 66 tahun setelah menjalani perawatan karena penyakit hipertensi di Rumah Sakit Dr. Oen Kandangsapi, Senin, 14 Desember 2015, sekitar pukul 03.45 WIB. Ediyem dimakamkan di Pemakaman Purwoloyo pada hari yang sama. |
kompilasi dari:
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=183755
http://www.suaramerdeka.com/harian/0208/16/slo6.htm
http://www.solopos.com/2015/12/14/kabar-duka-bu-edi-tengkleng-pasar-klewer-meninggal-670815
sumber foto-foto:
http://tentangsolo.web.id/thengkleng-bu-edi-pasar-klewer.html