Batu Bata Wiji Lestari Masih Asli Dibuat Tangan Satu Per Satu

Menata bata mentah di dalam ‘tobong’ ternyata memiliki seni dan aturan tersendiri. Tidak asal tumpuk saja. Jika diabaikan, bata bisa saja tak terbakar sempurna, atau bahkan gosong hingga berkurang estetikanya. Bata mentah ditata sedemikian rupa setinggi 2 m, dan diberi sela sepanjang 20 cm diantara tumpukan bata di sebelahnya. Ruang ini berfungsi untuk tempat kulit padi (brambut; jawa), yang menjadi bahan bakar utama pembakaran bata.

Selama seminggu penuh, bata mentah terkurung dalam onggokan brambut panas. Brambut harus dikontrol kuantitas dan panasnya. Sekali obong, kata Wiji, dibutuhkan 300 karung brambut untuk mematangkan 10.000 keping bata. Di musim kemarau seperti sekarang ini, Wiji mengaku dapat membakar bata dua kali sebulan.

sragenTerbatasnya ketersediaan brambut ketika musim tanam, menjadi kendala bagi kelangsungan produksi bata perempuan 37 tahun ini. Akibatnya, ia harus kreatif menggunakan bahan substitusi, untuk membakar batanya. Tak ada brambut, kayu bakarpun jadi.

Selalu Berproduksi

Berawal dari mulut ke mulut, kini produk bata Wiji telah tersebar di seantero Sragen dan sekitarnya. Ia mematok bandrol Rp. 3 juta per 10.000 keping bata. Harga ini tidak termasuk ongkos kirim dan tenaga pengusung, yang mencapai Rp. 350.000,00 untuk dalam kota. Pesananpun selalu mengalir. Tak jarang pemesan harus menunggu hingga dua bulan untuk mendapatkan bata yang dibutuhkan. “Untuk sebuah rumah ukuran standart, biasanya diperlukan 10.000 keping bata,” kata istri Joko Subagyo (39) ini. Dalam proses pembangunannya, seringkali pelanggan Wiji menambah lagi pesanan batu bata hingga 5.000 keping. Itulah sebabnya, selama ada kesempatan, Wiji tak pernah berhenti membuat bata.

“Bata buatan saya ukurannya lebih besar,” kata Wiji. Untuk dapat melayani pesanan yang tak pernah sepi, ia bekerjasama dengan pengrajin lain, yang memiliki cetakan batu bata yang sama dengan produknya. Jadi, ia membuat beberapa cetakan, dan menyebarkannya ke pengrajin lain di kampung Putatan.

Selain menyediakan lapangan kerja bagi tetangga sekitarnya, usaha ini mendatangkan keuntungan yang relatif besar. Dalam sebulan, Wiji mengaku dapat menangguk untung bersih tak kurang dari Rp. 2 juta. Dengan penghasilan sebesar itu, ia mampu menghidupi keluarganya.

Salah Satu Unsur Ketahanan Desa

Keuletan Wiji bergelut dengan bisnis bata ini mengingatkan pada pesan Bupati Sragen H Untung Wiyono, ketika memberikan bantuan dalam Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat (BBGRM) di Tangen beberapa waktu lalu. Saat itu Bupati menyampaikan beberapa hal penting mengenai ketahanan desa. Masyarakat desa, kata Bupati, harus kreatif dan produktif, hingga dapat meningkatkan kesejahteraannya, yang pada gilirannya akan membawa peningkatan atas kesejahteraan desanya. Potensi yang ada di tiap desa harus dioptimalkan, hingga tiap desa memiliki kekhasan dan produk lokalnya sendiri. Pemberdayaan masyarakat desa adalah bekal untuk mencapai ketahanan desa yang kuat. Adapun ketahanan desa, kata Bupati, merupakan pondasi kemakmuran bangsa. Genting dan bata made in Kampung Putatan telah dikenal luas. Pemasarannyapun merambah hingga luar kota. Dengan mempertahankan kualitas, usaha ini mampu bertahan dari waktu ke waktu.

sumber >> http://www.sragen.go.id/berita/berita.php?id=6948

Leave a Reply