Bakteriolog Dordia Rotinsulu Bawa Dua Anak Kejar S3 di Jerman
Jerman negara yang kondusif untuk lanjutkan studi dan tawarkan banyak fasilitas bagi pelajar. Begitu kata Dordia Rotinsulu yang sedang berkuliah S3 di Gießen.
Marjory Linardy / Deutsche Welle
DW – Dordia Anindita Rotinsulu dilahirkan di Manado. Ia menamatkan S1 di bidang kedokteran hewan di Institut Pertanian Bogor (IPB), kemudian menempuh pendidikan untuk menjadi dokter hewan. Setelah itu, ia melanjutkan ke bidang mikrobiologi medik untuk mendapat gelar S2, juga di IPB.
Sekarang dia juga sudah menjadi dosen di sana. Tepatnya di Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB. Namun mulai 2018, ia berkuliah S3 di Universitas Gießen, dengan beasiswa DAAD (Deutscher Akademischer Austauschdienst) dan mendalami mikrobiologi kedokteran hewan, khususnya bakteriologi.
Ketika ditanya apa tidak repot, kuliah dan penelitian sambil membesarkan dua anak, dia menjawab sambil tertawa, “Repot lah! Apalagi ada pandemi! Pokoknya komplet deh repotnya.”
Dordia bercerita, ketika taman kanak-kanak tutup akibat pandemi Corona, untungnya ada keleluasaan bagi anak-anak untuk pergi ke Notbetreuung atau penitipan darurat bagi anak-anak, jika orang tua harus bekerja, dan anak-anak memang tidak bisa ditinggal di rumah. Jasa itulah yang ia gunakan ketika TK dan tempat penitipan anak tutup.
Memang Niat Studi di Luar Negeri
Ia mengatakan, tertarik menganalisa keragaman genetika bakteri, terutama yang mempengaruhi resistensi antibiotik maupun virulensi bakteri tersebut.
Lebih jauh, Dordia mengatakan, dalam penelitian untuk mendapat gelar Ph.D, ia berfokus pada bakteri Streptococcus equi subspecies equi yang menyebabkan penyakit strangles pada kuda. Penyakit strangles merupakan salah satu penyakit respirasi yang paling sering didiagnosa pada kuda, dengan angka morbiditas atau kesakitan yang tinggi, dan sangat menular.
Menurut Dordia, ia meneliti keragaman genetik bakteri ini, kepekaan maupun resistensi terhadap antibiotik, dan keberadaan gen-gen yang mempengaruhi virulensinya, artinya kemampuan suatu mikroorganisme untuk menimbulkan penyakit. Dordia juga melakukan analisa pengurutan genom lengkap (whole genome sequencing) bakteri yang ditelitinya yang dikaitkan dengan aspek epidemiologi, yakni pola penyebaran penyakit.
Dordia mengatakan, ia sejak dulu memang ingin studi di luar negeri. Selain itu, sebagai dosen, melanjutkan kuliah ke taraf S3 memang penting.
Dia memilih Jerman sebagai negara untuk melanjutkan studi, karena Jerman sudah tidak asing lagi bagi dia. Ketika kecil, dia pernah melewatkan beberapa tahun di Jerman bersama kedua orang tuanya, yang ketika itu juga mendalami bidang kedokteran hewan di Jerman. “Iya, jadi ada sedikit ‘penyakit keturunan’ nih, jadi dokter hewan,” jelasnya sambil tertawa lagi.
Ketika datang dulu, dia masih TK, kemudian lanjut ke SD. “Mungkin itu juga yang memberikan saya inspirasi untuk berkuliah di luar negeri sambil membawa anak,” kata Dordia, sambil menambahkan, usianya ketika itu sama dengan usia anak-anaknya sekarang.
Dordia menjelaskan, Jerman terkenal untuk bidang kedokteran hewan. “Puji Tuhan, saya juga mendapatkan pembimbing yang merupakan ahli di bidang ilmu yang saya tekuni.” Selain itu, banyak alumni Jerman yang bekerja di tempat dia bekerja di Indonesia.
Satu-satunya Orang Asing
Bagi Dordia diterima di Universitas Gießen merupakan suatu keberuntungan. Dia memang tidak ingin berkuliah di kota-kota besar seperti Berlin atau München, “karena di sana biaya hidupnya pasti mahal.” Berbeda dengan di kota yang lebih kecil atau “kota pelajar“.
Dia bercerita, program S3 yang ia telusuri sebenarnya program internasional. Tetapi semua koleganya menggunakan bahasa Jerman sebagai bahasa komunikasi utama, baik itu protokol, maupun berbagai prosedur di laboratorium. Dia juga mampu berbahasa Jerman sampai C1. Ia mengaku, tata bahasanya “kadang salah-salah.” Tapi ia tetap berani mencoba berkomunikasi dalam bahasa Jerman.
Berbeda dengan jurusan-jurusan ilmu pengetahuan alam di Universitas Gießen, yang mahasiswa pascasarjananya (S2 atau S3) banyak dari luar Jerman, mahasiswa S3 jurusan kedokteran hewan sebagian besar orang Jerman. Saat ini, di institut tempat dia bekerja, yaitu “Institut für Hygiene und Infektionskrankheiten der Tiere” (atau institut higiene dan penyakit hewan menular), Dordia adalah satu-satunya orang asing.
Pintu Terbuka ke Jerman
Sebelum datang ke Jerman untuk meraih gelar Ph.D., ia pernah menerima beasiswa German Industries Scholarship (GIS) selama studi S1 di IPB Indonesia yang sekaligus memberikan fasilitas untuk belajar bahasa Jerman di Goethe Institut, Jakarta. Beasiswa ini juga memberinya kesempatan untuk mengikuti International Summer Programme selama tiga minggu di Dresden, dan pertukaranmahasiswa selama seminggu pada Fakultas Kedokteran Hewan di Gießen.
Selain itu, Dordia juga pernah menerima beasiswa Erasmus Mundus EXPERTSASIA dari Uni Eropa yang memberikan kesempatan untuk menempuh studi S2 selama satu semester di Universitas Göttingen.
Awalnya, kuliah dan penelitiannya berjalan dengan lancar. Tapi kemudian timbul tantangan yang tak terduga, yaitu pandemi Corona. Pandemi menyebabkan adanya pembatasan jumlah orang yang boleh bekerja di laboratorium. Ditambah lagi, ketika itu Dordia sudah berada di Jerman dengan salah seorang anaknya. Restriksi akibat Corona membuat anaknya tidak bisa pergi ke TK.
Selain itu, ia dan suaminya sudah berencana bahwa suaminya akan datang ke Jerman membawa anak yang kedua ketika pandemi mulai melanda Jerman. Rencana itu awalnya menjadi berantakan akibat pandemi. Tapi untungnya hanya tertunda saja.
Pengalaman berharga di Jerman
Salah satu pengalaman berharga adalah jadi pemenang kedua presentasi poster, pada konferensi perhimpunan dokter hewan Jerman, bidang bakteriologi dan mikologi (Tagung der Deutschen Veterinärmedizinischen Gesellschaft, Fachgruppe Bakteriologie und Mykologie) tahun 2021. “Saya juga ga nyangka,“ kata Dordia, “soalnya dari Ausland [luar negeri] dan studi sambil bawa anak ke Jerman.“ Tapi ia bersyukur bisa mendapatkan apresiasi.
Selain itu, dia juga pernah menjadi perwakilan para mahasiswa di tingkat direktorat institut tempat ia bekerja pada proses perekrutan dan wawancara calon pegawai baru untuk posisi “post doc“. Ia merasa itu merupakan pengalaman yang sangat unik sekaligus berharga. “Saya juga boleh bertanya kepada orang yang nanti posisinya akan lebih tinggi dari saya.“ Sedangkan di Indonesia, yang mewawancara kita biasanya adalah orang yang akan jadi atasan kita.
Belajar Mengatasi Tantangan
Walaupun kesibukannya banyak, itu juga membuat Dordia belajar mengatasi tantangan di Jerman. Salah satu tantangan sehari-hari adalah harus tepat waktu. Berbeda dengan di Indonesia, kendaraan umum di Jerman hanya datang pada waktu-waktu tertentu. Jadwal kedatangannya tercantum di semua halte tempat bus berhenti. Jika terlambat sedikit saja kita akan ketinggalan bus dan harus menunggu jadwal berikutnya.
Dordia juga mengungkap sambil tertawa, karena hidup di Jerman “lebih enak”, mungkin menyesuaikan diri tidak terlalu sulit. Contoh yang dia ambil adalah jumlah hari cuti. Di Jerman jumlah cuti adalah 30 hari per tahun, sedangkan di Indonesia cuma 12 hari. Ia juga bercerita, bahwa ia terkagum-kagum dengan orang Jerman. “Kalau sedang bekerja, mereka sangat fokus bekerja. Namun kalau sedang Urlaub [cuti], mereka beneran Urlaub.” Mereka tidak buka e-mail kantor dan lain sebagainya, kata Dordia. Sedangkan kalau di Indonesia, walaupun cuti, orang tetap bisa saja dihubungi untuk urusan pekerjaan.
Menurut Dordia, dibandingkan dengan orang Indonesia, orang Jerman juga selalu mengatakan pendapat mereka secara terbuka. Kalau mereka senang akan mereka tunjukkan, demikian halnya kalau mereka tidak senang. “Tapi setelah itu, ya udah,” katanya. Hubungan tetap baik-baik saja.
Ia juga punya pengalaman manis dengan orang Jerman, yaitu ketika naik bus bersama anaknya. Seorang nenek mendekati mereka, dan memberikan coklat kepada anaknya, karena hari itu adalah Hari Nikolaus, yang di Jerman dirayakan pada tanggal 6 Desember.
Selain itu tantangan lain yang harus bisa dikalahkan jika ingin menuntut ilmu atau berimigrasi ke Jerman adalah, harus berani mengemukakan pendapat. Begitu kata Dordia. Memang di Indonesia orang sering sungkan mengemukakan pendapat kepada orang lain, terutama terhadap orang yang lebih senior. Namun, di Jerman pun, argumen tentu harus disampaikan dengan landasan yang logis dan cara yang sopan, demikian ungkap Dordia.
Hal penting lainnya adalah harus mandiri, dan harus rajin mecari informasi. “Karena Jerman kan birokrasinya sangat mendetail. Jadi kita di Jerman benar-benar dilatih untuk mempersiapkan segalanyadengan baik.” Pada dasarnya di Jerman segalanya sudah tertata dengan baik. Segalanya sudah ada aturannya, misalnya untuk mendapat keringanan biaya, atau bagaimana caranya mendapat fasilitas tambahan, dan lain-lain.
Ia juga mengatakan, orang asing yang datang ke Jerman harus siap mental dalam menghadapi berbagai tantangan dan perbedaan. Ditambah lagi, harus berpikiran terbuka dan siap beradaptasi dengan hal-hal baru.
Indonesia Adalah “Comfort Zone”
Menurut Dordia, ada plus dan minusnya jika tinggal di Jerman dengan membawa dua anak, dibandingkan dengan tinggal di Indonesia. Indonesia ia sebut sebagai “comfort zone” atau zona yang nyaman. Karena di sana ada keluarga, juga pekerjaan yang lingkungannya sudah ia ketahui, lengkap dengan kolega yang sudah dia kenal dan “networking” atau jaringan yang sudah terbentuk. Tapi untuk mengembangkan diri, orang perlu keluar dari zona yang nyaman.
Namun di Jerman tidak mudah pula, karena suami Dordia tetap tinggal di Indonesia, mengingat rencana Dordia tinggal di Jerman hanya temporer saja. Setelah Dordia selesai S3 di Jerman, dia akan melanjutkan karier di Indonesia.
Tapi Dordia bersyukur bisa membawa kedua anaknya ke Jerman. Terutama di masa pandemi ini. Anak-anaknya bisa ke TK atau ke sekolah walaupun ada restriksi, sehingga mereka tetap bisa berinteraksi dengan teman. Sedangkan anak-anak lain di Indonesia hanya bersekolah “online” saja.
Tinggal di Jerman juga membuat anak-anaknya terlatih untuk beradaptasi dan menerima keragaman. “Dulu kalau mereka melihat orang asing dan rambutnya bukan hitam, rasanya beda banget. Sekarang mereka sudah terbiasa.” Mereka juga mau mencoba berbagai makanan yang untuk orang Indonesia aneh, tutur Dordia.
Selain itu, Jerman “kinderfreundlich” atau bagus buat anak-anak. Karena di mana-mana ada tempat bermain yang bisa dimasuki dengan gratis dan nyaman. Selain itu, di masa libur sekolah juga ada “Ferienbetreuung” atau bimbingan di masa libur, sehingga dia masih bisa bekerja walaupun anak-anaknya libur.
Perempuan tidak boleh ragu untuk meraih mimpi
Khusus untuk perempuan baik single maupun berkeluarga, yang ingin melanjutkan studi, jangan ragu untuk mencoba dan berusaha meraih mimpi. Demikian ditekankan Dordia. Tantangan pasti ada, namun dengan niat baik yang kuat, dan tentunya dengan pertolongan Tuhan, pasti akan ada jalan untuk meraih tujuan.
Terutama bagi yang studi di Jerman bersama anak, pengalaman berada di Jerman akan sangat berharga bagi anak, terutama dalam membangun kepribadian, pola pikir, daya adaptasi dan interaksi antarbudaya. Anak menjadi lebih terbuka, berpikiran luas, toleran, dan siap untuk menanggapi globalisasi :: DW/Marjorie Linardy/NOV2021