Baju Handuk Iwa Selamatkan Keluarga
Bisnis ini bisa dimulai dengan modal kecil sebagai alternatif di tengah krisis. Tengok saja pengalaman Miswati Dusti yang menggeluti bisnis ini sejak awal 2008.
Mulanya, baju handuk merupakan jawaban Iwa, demikian panggilan akrab Miswati Dusti, untuk tingkah laku anaknya yang enggan mengeringkan badan dengan handuk usai mandi.
“Inspirasinya dari pakaian ala Meksiko, selembar kain yang tengahnya dilubangi untuk kepala,” kata dia kepada Vivanews di sela bazaar Batik Goes to Campus di kampus Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Sabtu 7 Maret 2009.
Baju handuk merupakan handuk yang berbentuk baju. Bagian kepalanya ada yang memiliki penutup kepala atau pun tidak. Baju handuk buatan Iwa dihiasi dengan berbagai desain menarik, seperti gambar hewan atau tokoh kartun yang sedang digemari anak-anak. Untuk sentuhan akhir, baju handuk juga bisa dilengkapi dengan bordir nama pada bagian dada. “Supaya baju handuk terasa lebih personal,” jelas dia.
Iwa mengungkapkan, awal membuat baju handuk memang hanya untuk konsumsi sendiri. Namun ternyata kerabatnya banyak yang suka dan memesan kepadanya. Akhirnya, Iwa yang memiliki toko kecil di Galery UKM Cilandak Town Square memasukkan ide baju handuk ke tokonya. Selain baju handuk, Iwa juga sempat menjual mukena dan pakaian bordir. Semua barang jualannya merupakan produk buatannya sendiri. “Sekarang saya fokus ke baju handuk dulu,” tutur dia.
Keuangan Lumpuh, Iwa Tangguh
Iwa awalnya tidak bermimpi untuk berbisnis. Ibu beranak empat ini hanya ibu rumah tangga biasa yang seluruh pengeluaran rumah tangga dipenuhi dari penghasilan tunggal suaminya. Kejadian berbalik pada akhir 2005, saat suami Iwa diberhentikan kontrak kerjanya. Kondisi keuangan semakin morat-marit ketika suaminya tertipu hingga Rp 700 juta saat berniat berbisnis kayu dengan rekannya. Akibatnya, keluarga Iwa harus hidup seadanya. “Bahkan, kami sempat makan hanya dengan nasi dan kerupuk putih saat itu,” kenang Iwa.
Suatu hari saat ia dan suaminya berkunjung ke Citos untuk mencari anjungan tunai mandiri, Iwa melihat galery UKM di salah satu pojok perbelanjaan tersebut dan terlintas dibenaknya untuk memulai usaha dari sana. Ia pun mulai berbisnis kecil-kecilan. Modal awal yang dikeluarkannya saat itu mencapai Rp 4 juta. “Sewa tempat Rp 2,5 juta dan barang jualan sekitar Rp 1,5 juta,” tutur dia.
Iwa menjelaskan, tujuan awalnya saat memulai usaha hanya untuk kebutuhan rumah tangganya sehari-hari, seperti makan dan uang sekolah anak, sehingga, kala itu Iwa sudah senang jika bisa untung Rp 15-20 ribu per hari.
Namun, produknya ternyata digemari. Baju handuk yang menjadi primadona omzetnya bisa mencapai Rp 15 juta per bulan. Dari omzet tersebut, Iwa meraup keuntungan bersih sebesar 30-40 persen, atau sekitar Rp 6 juta. Sisanya, untuk membayar tiga pekerjanya dan modal untuk membuat baju handuk.
Baju handuk produksi Iwa dijual pada kisaran Rp 125 ribu untuk anak-anak dan Rp 250 ribu untuk dewasa. Selain Jakarta, baju handuk tersebut juga bisa ditemui di Semarang, Surabaya, Aceh, Makasar, Purworejo, da Purwokerto.
Dalam berbisnis, Iwa percaya bahwa kegagalan merupakan suatu keberhasilan yang tertunda. Barang produksinya dicari orang karena Iwa bisa mempertahankan mutu dan kualitas. Selain itu, Iwa juga terus berinovasi dan meningkatkan kreativitas dengan menciptakan desain yang lebih baru. “Jangan pernah berpikir, kita yang paling bagus. Karena produk ini susah-susah gampang, orang lain bisa menirunya,” kata dia sambil berharap, suatu saat bisa mengekspor baju handuknya ke mancanegara seperti Malaysia.
Sumber : VIVAnews/Maret2009
http://kosmo.vivanews.com