Anggota DPRD A.A. Ayu Rai Sunastri: Denpasar Perlu ‘Angkot Shuttle’
SEBUAH ide segar mengalir dari mulut A. A. Ayu Rai Sunasri, S. Sos., M. Si. Perempuan politisi Partai Golkar di DPRD Kota Denpasar ini menggagas usulan menarik di tengah percakapan tak berkesudahan seputar kemacetan lalu lintas di ibu kota Provinsi Bali. ”Pemerintah Kota Denpasar seharusnya melakukan terobosan untuk mengatasi masalah kemacetan di jalan raya. Angkot (angkutan kota) yang didesain seperti ‘shuttle’ (kendaraan ulang-alik) seharusnya menjadi pilihan terobosan tersebut,” ujar istri A. A. Ngurah Mayun ini di sela acara Diskusi Terbatas ”Plus Minus Manajemen Sistem Transportasi” yang dihelat Koran Tokoh dan RSU Manuaba di Denpasar belum lama ini.
Ada segudang alasan yang tersimpan di dalam benaknya. Kemacetan bukan alasan tunggal di balik inisiatifnya mengembuskan gagasan urgensi transportasi angkot yang didesain seperti shuttle itu.
Tingginya angka kecelakaan lalu lintas di jalan raya mengusik pikirannya. Bu Gung Rai —panggilan akrab anggota DPRD Kota Denpasar masa bakti 1997-1999— ini, mengutip persentasi kematian pengguna jalan raya di Bali mencapai 14,5% per seratus ribu penduduk.
”Persentase orang tewas gara-gara kecelakaan lalu lintas di Bali ini tak bisa dipandang remeh. Ini warning bagi kita, terutama pemerintah untuk membuat kebijakan efektif menekan risiko maut ini,” katanya bernada prihatin.
Jalan raya dipersonifikasikan sebagai mesin pencabut nyawa manusia. Laporan Koran Tokoh Edisi 492 (8-14 Juni 2008) yang menyuguhkan angka 10 ribu nyawa pengguna jalan raya melayang di Indonesia dinilainya tentu bukan hanya dipicu soal relatif belum memadainya kondisi jalan raya, belum bagusnya disiplin pemakai jalan raya, maupun sistem transportasinya semata.
”Ini juga soal manajemen angkot maupun angdes (angkutan pedesaan) yang belum mumpuni,” imbuh alumnus Program Pascasarjana Unud ini.
Potret manajemen sistem transportasi di Kota Denpasar menjadi sorotan kritisnya. Kondisi angkot umumnya cenderung tak mengundang selera warga. Selain kondisi kendaraan yang tak nyaman, minimnya keselamatan, kurangnya service, tarifnya pun terbilang membubung.
Ketaknyamanan tadi ditunjukkannya dari fasilitas angkot yang umumnya dikelola perorangan itu. Jangan tanya soal AC, duduk pun penumpang tak jarang dipaksa berdesak-desakkan. Ini diperparah jadwal operasinya yang tak menentu.
Belum lagi jika bercakap soal trayeknya yang terbatas. ”Khusus soal terbatasnya trayek ini kan masalah serius bagi warga. Mobilitas mereka yang hendak bergerak dari satu titik ke titik lain di wilayah perkotaan ini relatif sulit terjangkau lantaran angkot yang ada hanya melayani rute tertentu. Mereka pun harus merogoh kocek lumayan banyak untuk membayar jasa angkot. Ini tentu tak efisien di tengah kondisi ekonomi warga yang masih merayap akibat kenaikan BBM,” katanya.
Pilihan warga otomatis beralih ke sepeda motor. Kendaraan roda dua ini lebih gampang menyasar pelbagai titik tujuan mereka bergerak. Warga pun lebih bisa berhemat.
Apalagi, animo memiliki kendaraan roda dua sekarang jauh lebih tinggi menyusul kemudahan akses memilikinya melalui kredit yang relatif enteng. ”Jumlah sepeda motor otomatis amat banyak di kalangan warga kota khususnya,” katanya.
Risikonya, arus kendaraan kian padat di jalan raya. Sementara luas ruas jalan di Kota Denpasar cenderung permanen. Celakanya, manajemen transportasi dalam kota cenderung semrawut. ”Kondisi semacam ini jelas mengesankan suasana tak nyaman, bahkan rawan kecelakaan,” tambahnya.
Jika ada rencana melebarkan badan jalan niscaya upaya ini terbilang sukar, bahkan bukan mustahil akan menelan biaya selangit. Ini terutama lebih disebabkan lahan yang padat hunian serta bangunan persembahyangan umat Hindu yang telanjur berada di depan rumah. ”Jika mau melebarkan badan jalan tentu sulit. Ongkosnya pasti tidak murah,” katanya.
Betapapun Gung Rai memandang pembenahan manajemen sistem transportasi Kota Denpasar tak bisa ditawar-tawar lagi. Ini bukan hanya berguna menekan laju angkat kematian di jalan raya.
Ini juga bukan hanya lantaran pentingnya membangun suasana perkotaan yang nyaman. Pembenahan itu pun mendesak ditempuh guna membuktikan adanya komitmen memberdayakan ”Denpasar sebagai Kota Berwawasan Budaya”.
Apalagi, perbaikan mutu manajemen sistem transportasi di belahan bumi mana pun dinilai merupakan cermin kemajuan peradaban sebuah komunitas. ”Ada anggapan, peradaban sebuah masyarakat juga dicerminkan dari wajah manajemen transportasi publiknya,” kata perempuan kelahiran Denpasar, 20 Mei 1958, ini.
Sebagai kota yang mengusung moto ’berwawasan budaya’ tentu manajemen sistem transportasinya pun dirajut dalam perspektif budaya. “Pengembangannya harus mempertimbangkan aspek kondisi jalan raya, rute yang disesuaikan dengan kebutuhan, serta jenis transportasi yang diperlukan warganya,” papar sarjana Universitas Dwijendra ini.
Transportasi dalam kota yang dinilai greeeng, adalah angkot dengan desain shuttle. Ia membayangkannya serupa angkutan mini yang biasa mengantar-jemput wisatawan di kawasan Kuta atau Nusa Dua. “Angkutan wisata ini tampak menarik. Ada nilai estetika yang khas Bali di badan kendaraan yang dilukis secara atraktif. Angkotnya seperti bus mini semiterbuka.
”Rutenya saat ini bisa kita lihat di sekitar bandara, hotel, maupun objek wisata,” jelasnya. Gagasan yang terinspirasi dari moda ’bus way’ di Jakarta itu diyakini lebih cocok dengan selera warga pula. Selain warga lokal, wisatawan pun dapat memanfaatkannya.
”Kesan wisatawan pasti beda jika ada jasa transportasi yang unik seperti ini,” kata ibu tiga putra, A. A. Ngurah Bagus Dhermawan, S. T., A. A. Ngurah Agung Mulyawan, S. E., M. M., dan A. A. Ngurah Gede Setyawan, S. T., ini.
Namun, itu tak bisa hanya berhenti sebagai gagasan semata. Pemerintah Kota Denpasar diharapkan meresponsnya secara serius. Namun, jika ide ini hendak diwujudkan tentu diharapkan adanya dukungan regulasi yang subsidi yang masuk akal. ”Subsidi khususnya dimaksudkan untuk menekan keluhan warga yang selalu ditagih ongkos angkot yang relatif mahal,” harapnya. Jika pemerintah Kota Denpasar serius meresponsnya, Gung Rai bertambah yakin pula, salah satu persoalan manajemen transportasi di daerahnya akan teratasi.
”Warga cenderung menggunakan angkot ketimbang sepeda motor. Suasana jalan raya tak lagi semrawut. Kota Berwawasan Budaya sungguh tercermin di Denpasar,” tandas anggota Komisi C DPRD Kota Denpasar, ini. —sam