Aleta Ba’un Hadang Eksploitasi Marmer Alam Di NTT
“Kehidupan perempuan di desa-desa sangat memprihatinkan. Mereka hampir tak punya kekuatan untuk bangkit memperjuangkan hak sebagai warganegara,” ucapnya.
Belum selesai perjuangan tersebut, tahun 1999 ia dihadapkan pada persoalan lain, yaitu perusakan sejumlah bukit batu milik suku besar Molo yang meliputi tujuh kecamatan di TTS. Bukit batu itu habis dikuras, tetapi tak ada upaya rehabilitasi hutan. Kondisi masyarakat tetap miskin dan harus menanggung akibat ulah pengusaha. Padahal, pengusaha tak membayar kompensasi apa pun untuk masyarakat.
Kalangan pengusaha secara serampangan merobohkan sejumlah bukit batu. Bahan itu diproses menjadi marmer. Ini membuat masyarakat berang sebab bukit itu sejak lama diyakini sebagai tempat arwah nenek moyang, keramat, pusat kuburan, dan altar sesajian atau tempat ritual adat.
Misalnya, bukit batu di Desa Nesus yang hancur setelah dirobohkan. Hutan sabana di sekitar bukit pun lenyap, menimbulkan kekeringan di sejumlah sumber air. Beberapa jenis burung endemik yang tinggal dalam liang batu pun punah. Selain itu, terjadi erosi, pencemaran air, kerusakan tanah rakyat, penyempitan lahan pertanian, dan kehilangan humus tanah.
Maka, atas permintaan para tetua adat, Aleta dan sejumlah pemuda Molo bergabung dengan Yayasan Oat atau Organisasi Kelompok Kerja Atemamus masyarakat adat Molo. Cakupan kerjanya lebih luas, termasuk lingkungan. Atemamus dalam bahasa Dawan artinya pengayoman, perlindungan, kesejahteraan, dan keharmonisan hidup.