Aktivis Perempuan Singkap Angka Kekerasan di Sulsel
Budaya Berperan Tingkatkan Kasus-kasus Kekerasan
“AKU Jadi Pemuas Nafsu Anak Majikan”, “Suami Bunuh Istri Setelah Mimpi Istri Selingkuh”, “Tumor Kian Ganas, Kekasihku Pun Pergi”, “Calon TKW Berparas Ayu Diperkosa Bosnya”.
Judul-judul itu bukan judul lagu atau film, tetapi judul berita yang kerap menghiasi halaman satu koran-koran lokal di Makassar, Sulawesi Selatan. Berita kekerasan terhadap perempuan yang berjudul bombastis dan berlebihan itu secara tidak langsung menunjukkan semakin seringnya kasus kekerasan terhadap perempuan di Kota Makassar.
Kasus yang muncul di media massa itu ibaratnya hanyalah puncak dari gunung es. Masih banyak kasus kekerasan terhadap perempuan di masyarakat yang masih “bersembunyi” mengumpulkan tenaga dan keberanian serta menunggu waktu tepat untuk naik ke permukaan. Pasalnya, kasus kekerasan terhadap perempuan bukanlah persoalan yang mudah diungkap.
Dilihat dari jumlah kasus kekerasan yang masuk ke Lembaga Bantuan Hukum Pemberdayaan Perempuan Indonesia (LBH-P2i) Sulsel, korban kekerasan berusia antara 21-25 tahun dan 31-35 tahun serta berpendidikan SMU/SMK.
Pada kurun waktu tahun 1998 sampai 2001 terdapat 248 kasus. Jumlahnya makin bertambah dari tahun ke tahun dengan peningkatan sekitar 100 persen lebih setiap tahunnya. Secara rinci, tahun 1998-1999 meningkat sebesar 141 persen dan pada tahun 1999-2000 meningkat 102,4 persen. Sementara tahun 2000 sampai November 2001, peningkatannya hanya 20,5 persen.
MENURUT Marhumah Majid dari Divisi Litigasi LBH-P2i, salah satu faktor pemicu keberanian korban melaporkan kasusnya adalah gencarnya kegiatan kampanye oleh LSM-LSM pemerhati masalah perempuan di sana. Selama ini kampanye tersebut dilakukan melalui media massa radio, televisi, koran, poster, brosur, dan informasi dari mulut ke mulut.
“Banyaknya kasus yang terungkap berarti mulai terbukanya para korban kekerasan. Akhirnya mereka mau menceritakan pengalamannya kepada orang lain. Satu demi satu korban berani muncul karena tahu ada orang lain yang mengalami hal sama. Kami juga aktif memberikan pelayanan melalui konseling telepon, tatap muka, serta pendampingan korban,” kata Marhumah.
Meskipun satu demi satu korban kekerasan mulai berani menampakkan diri, kini yang menjadi masalah justru perlakuan aparat kepolisian ataupun aparat hukum lain yang cenderung mendiskreditkan korban dan kurang berpihak pada perempuan. Menurut Koordinator Umum Forum Pemerhati Masalah Perempuan (FPMP) Zohra Andi Baso, sebenarnya pihak Kepala Polda dan Kepala Poltabes sudah sangat kooperatif, terbuka dan sering berdialog dengan LSM. Yang perlu dipikirkan lebih lanjut adalah penyamaan persepsi tentang jender dan masalah perempuan.
“Masalahnya, sikap polisi masih bias jender dalam memandang persoalan ini. Perlakuan pada korban justru sering memojokkan dan malah menyalahkan korban ketika mengajukan pertanyaan pemeriksaan. Ungkapan seperti, kan, kamu yang minta, Kok, kamu mau?, atau lainnya sampai sekarang masih sering keluar. Ini terjadi karena polisi belum berbekal pemahaman jender yang memadai. Makanya perlu dialog terus supaya kita memiliki persepsi sama,” kata Zohra.
Upaya ini perlu dilakukan sesegera mungkin. Pasalnya, dari data LBH-P2i, upaya yang dilakukan korban setelah mengalami kekerasan adalah tindakan hukum. Misalnya, dengan melapor ke polisi, pengadilan, dan LBH. Alternatif lainnya barulah melapor ke orang terdekat, atasan, dokter, psikolog, ataupun pemuka agama. Akan tetapi, yang utama tetaplah polisi. Lantas kalau polisinya saja enggak membuat korban merasa aman dan nyaman, terus mereka mau ke mana lagi?
MASIH mengacu pada data kasus LBH-P2i, kekerasan yang kerap terjadi di Sulsel adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan dalam pacaran (dating violence) berbentuk kekerasan fisik dan ekonomi. “Yang paling banyak terjadi jenis kekerasan berlapis, yakni kekerasan fisik, seksual, psikis, sekaligus ekonomi. Semuanya dialami dalam waktu bersamaan. Pelakunya juga bukan orang asing melainkan suaminya, teman dekat atau pacarnya,” kata Marhumah.
Hal senada diungkapkan Zohra yang menyatakan kasus kekerasan yang kerap terjadi di Makassar adalah kekerasan fisik dan psikis. “Bahkan dari hasil penelitian FPMP, kasus pelecehan seksual di luar rumah juga sangat tinggi. Terutama pelecehan seksual di tempat kerja,” ujarnya.
Apa pun bentuk kekerasannya, yang jelas perempuan yang menjadi korban kekerasan selalu merasa dirinya lemah dan tidak berdaya berdiri sendiri menyatakan keinginannya, mempertahankan dirinya sendiri. Sehingga perlakuan suami, teman dekat, atau siapa pun terpaksa mereka terima. Tidak ada yang bisa ataupun mau membantu. “Bahkan ketika ada orang yang dengar tetangganya bertengkar atau istri dipukul suaminya, tidak akan ada yang menolong. Alasannya, pertengkaran yang terjadi di dalam rumah tangga itu adalah persoalan intern rumah tangga masing-masing. Dan tidak ada seorang pun yang berhak ikut campur di dalamnya,” kata Zohra.
Sikap seperti ini, tambah Zohra, sangat dipengaruhi adat dan budaya yang kental di kalangan masyarakat Makassar khususnya dan Sulsel umumnya. Hal ini ditambah pemahaman dan interpretasi yang kaku dipegang kuat masyarakat. Jika ditarik mundur lagi, faktor utama penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan adalah adanya budaya patriarkhi yang sangat kuat.
“Itulah yang jadi masalah utama di sini. Budaya patriarki di Sulsel membatasi ruang gerak perempuan menjadi hanya di domestik saja. Padahal, dulu perempuan bekerja di ruang domestik sekaligus publik. Makanya, sekarang perempuan di Sulsel sangat dijaga dan dalam kondisi subordinasi,” jelas Zohra kemudian.
Itulah sebabnya, persoalan perempuan tidak gampang bahkan kompleks untuk diselesaikan. Budaya tetap menjadi faktor penentu tumbuh kembangnya seorang perempuan. Berbagai pihak pun telah menyatakan, kekerasan terhadap perempuan di Sulsel sangat memprihatinkan, terutama sejak terjadinya krisis ekonomi. Sementara itu, penanganan terhadap korban kekerasan hingga saat ini masih kurang detail dan intensif.
DENGAN adanya kondisi riil tersebut, keberadaan One Stop Service (OSS) sangat dibutuhkan di Sulsel. Perlu ada satu tempat yang bisa menangani korban secara tuntas dan menyeluruh. Dan polisi memiliki fasilitas untuk melakukan itu. “Kami lega akhirnya polisi mempunyai tempat khusus untuk menangani korban kekerasan. Apalagi jika nantinya ada kerja sama antara polisi dengan LSM. Pasalnya, seringkali kami harus memakai sistem ‘jemput bola’. Kami akan mendatangi daerah mana pun yang kami dengar ada kasus kekerasan. Dan itu memerlukan kerjasama dengan RS dan polisi,” kata Zohra.
Sebelum ada fasilitas OSS, jika ada korban kekerasan yang mengadu ke LSM, polisi ataupun RS, korban terlebih dahulu dibawa ke polisi kemudian ke RS untuk meminta visum. Kemudian dibawa lagi ke polisi untuk mengusut tuntas kasusnya melalui jalur hukum. Ini terlalu memakan waktu lama dan tidak efisien.
Untuk itu, menurut Kepala RS Bhayangkara Andi Mappa Oudang Makassar Ajun Komisaris Besar Peter Sahelangi, dibangunlah fasilitas OSS di RS Bhayangkara. Ide awal OSS yang dibangun atas dasar kepe-dulian pada masalah perempuan dan anak berasal dari ide Direktur Dinas Kedokteran dan Kesehatan (Dirdokkes) Desumdaman Polri Brigjen (Pol) Bambang Ibnu S.
“Beliau concern dengan masalah kekerasan pada perempuan dan anak. Apalagi, perempuan dan anak paling takut disuruh datang ke kantor polisi. Makanya, dibangunlah OSS yang berlokasi di RS dengan pelayanan menyeluruh. Korban tidak perlu takut lagi. OSS ini adalah pelayanan satu atap yang mencakup pelayanan kesehatan, pelayanan hukum, sekaligus asuransi. Korban yang sudah datang ke OSS, enggak perlu nginjek-injek kantor polisi lagi,” kata Peter.
Dengan kehadiran OSS, diharapkan jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak yang marak terjadi di Makassar dari hari ke hari semakin berkurang. Semoga. (p12)
<sumber: Kompas, 4 Maret 2002>