Air Mata Perempuan Dalam Sinetron Kita
Oleh Tsulasi K Mufida
[SUARAMERDEKA] – Setiap hari, di layar kaca, penonton disuguhi adegan kekerasan yang dialami perempuan. Perempuan yang menjadi tokoh protagonis digambarkan sebagai sosok yang lemah dan tak pernah melawan.
Tokoh-tokoh utama dalam sinetron kita, yang rata-rata perempuan, selalu mengalami penyiksaan, pelecehan, dan ketidakadilan. Sayangnya, mereka tak bisa berbuat sesuatu untuk dirinya. Mereka hanya menangis, meratap, dan mengharap bantuan dari sang pujaan hati, atau mengadu kepada Tuhan.
Tokoh Fitri dalam sinetron Cinta Fitri, Murni dalam Terlanjur Cinta, Dewi dalam Dewi, dan masih banyak lagi, digambarkan sebagai perempuan cantik, lemah lembut, dan nrima.
Sejahat apapun perlakuan tokoh antagonis terhadapnya, tokoh-tokoh utama itu tak pernah membalasnya.
Mereka hanya bisa menangis dan berdoa (ditunjukkan secara eksplisit melalui adegan doa dalam balutan mukena, atau melalui narasi yang merapalkan doa). Mereka tak pernah melawan. Kalaupun akhirnya mendapat kebahagiaan, semuanya terjadi melalui uluran tangan laki-laki yang digambarkan sebagai kekasih atau suaminya.
Makin lama, bukan tidak mungkin penonton menganggap penggambaran sosok perempuan dalam sinetron adalah gambaran ideal seorang perempuan. Tokoh perempuan itu potensial menjadi panutan, sebab keberadaannya dalam cerita ”sangat penting”, yakni sebagai tokoh sentral, bahkan tak jarang namanya dijadikan judul sinetron.
Akibatnya, terbentuk stereotip bahwa perempuan baik-baik adalah perempuan yang selalu menurut, tak pernah bertindak kasar, bahkan untuk membela diri sendiri.
Menjadi Target
Penggambaran perempuan lemah dalam sinetron ini bisa memengaruhi pola pikir perempuan. Sebab merekalah yang menjadi target utama tayangan itu. Bila film laga diidentikkan dengan lelaki, maka film drama dan sinetron kebanyakan menyasar ke perempuan.
Menurut Partington (1991), serial drama atau sinetron menarik bagi perempuan, sebab ia menyajikan penggambaran emosi yang estetis. Drama dibuat berdasarkan pengetahuan dan kompetensi yang secara spesisfik dibangun menjadi feminin dan konsumtif, sehingga memberi ruang bagi perempuan untuk menggali dan mengeksploitasi feminitasnya.
Geraghty (1991) mencatat, alasan perempuan menjadi dekat dengan film drama/sinetron adalah karena mereka merasakan bahwa saat mereka menyaksikan adegan demi adegan, kisah yang terjadi di dunia yang hanya fiksi itu kemudian dipararelkan dengan apa yang terjadi dalam hidup sehari-hari Penonton perempuan bukan hanya menikmati jalannya cerita, melainkan sampai pada taraf membandingkan dirinya dengan tokoh utama.
Tak heran, banyak penonton perempuan yang emosional saat menonton tayangan sinetron, bahkan menangis ketika tokoh utama disakiti lawan mainnya..
Ketertarikan perempuan untuk menonton sinetron sesungguhnya bukan murni datang dari perempuan itu sendiri, tetapi dikonstruksi oleh pengelola media massa
(Gledhill, 1997). Media secara sadar berusaha memberi gambaran cerita yang disukai perempuan, terutama ibu rumah tangga.
Riset pun digelar. Akhirnya, sesuai rekomendasi dari majalah-majalah perempuan, bentuk cerita yang paling disukai perempuan adalah kisah cinta dan kehidupan personal perempuan. Agar lebih menarik, tokoh-tokoh perempuan itu selalu digambarkan sebagai sosok yang cantik. Setting cerita pun dibuat semenarik mungkin, dengan menampilkan rumah-rumah megah dan kendaraan mewah.
Bukan Sinetron
Penggambaran perempuan baik adalah penurut dan lemah semacam itu jelas tak bisa diterima. Sebab dalam kenyataan, perempuan menghadapi banyak hal. Ia harus bisa mengandalkan diri sendiri untuk bertahan dan memenangi persaingan dalam kehidupan. Dunia nyata bukan sinetron, yang selalu memberi ”mukjizat” bagi para tokoh perempuan teraniaya itu.
Sayangnya, demi alasan mempertahankan unsur drama dan memancing emosi penonton, para pembuat sinetron selalu memakai formula yang sama: air mata. Tokoh utama dihadapkan pada keadaan yang tak nyaman, menderita, merana, teraniaya.
Menghadapi itu semua, si perempuan protagonis tak dibekali kemampuan apapun untuk melawan, selain air mata dan ratapannya. Baik Fitri, Murni, maupun Dewi tak punya daya untuk membela diri sendiri.
Untunglah, selalu ada Farel, Ridho, dan Andre yang selalu datang pada saat yang tepat, untuk menyelamatkan istri-istri dan kekasih mereka. [SM/22-07-2009](Tsulasi K Mufida, mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang-32)