Daya Lenting Bambu Perempuan Desa Baru Plepat
[JEJAKELANA] – Menurut ADB [Asian Development Bank], kaum perempuan adalah kontributor utama bagi ekonomi, baik melalui pekerjaan pertanian yang diupah maupun melalui pekerjaan tradisional yang bermanfaat dalam rumah tangga. Namun dalam kenyataannya, di kebanyakan masyarakat dan juga seperti ditemui di desa Baru Pelepat, Kabupaten Bungo-Jambi adalah bahwa kaum perempuan secara sistematis terasing dari akses ke berbagai sumberdaya, pelayanan penting dan pengambilan keputusan.
Tulisan ini mencoba memperlihatkan bagaimana proses-proses fasilitasi yang dilakukan mampu menguatkan peran dan posisi perempuan dalam mengelola desa dan sumberdaya alam. Proses-proses fasilitasi meliputi berbagai kegiatan yang digali dari kebutuhan kaum perempuan, lalu merancang rencana kerja dan melaksanakannya menjadi sebuah aksi. Fasilitasi juga memfokuskan pada proses-proses membangun kelompok dan jaringan melalui kegiatan anyaman bambu.
Desa Baru Pelepat adalah sebuah desa yang terletak di daerah penyangga (bufferzone) Taman Nasional Kerinci Seblat-Jambi dan berada di sepanjang sungai Batang Pelepat. Desa ini terdiri dari empat dusun dengan kelompok etnik yang beragam, dari Melayu-Jambi, Minangkabau, Palembang, hingga Jawa-transmingran. Pendampingan masyarakat dilakukan sejak tahun 2001 melalui proyek ACM yang merupakan kerjasama antara CIFOR-YGB dan PSHK-ODA. Dalam proyek ini perempuan menjadi salah satu fokus pendampingan, dengan berbagai pertimbangan. Pertama, secara kuantitas jumlagh perempuan adalah separuh dari jumlah penduduk di desa. Kedua, perempuan memegang peranan utama dalam berladang, maupun dalam memenuhi kebutuhan ekonomi lainnya. Dan ketiga, kendati memiliki peran terbatas, kelompok perempuan memiliki modal sosial yang cukup tinggi dibandingkan kelompok lainnya di desa, melalui kelompok pengajian yasinan tingkat dusun dan desa.
Melalui kelompok pengajian ini, kaum perempuan mengembangkan sistem arisan dan simpan pinjam yang sangat dibutuhkan pada saat-saat penting, seperti kematian, pernikahan, kelahiran bayi dan lain sebagainya. Menariknya, untuk menambah modal kelompok, tak jarang kaum perempuan mengelola lubuk larangan[1]. Melalui kelompok pengajian inilah mereka saling membangun solidaritas dan kepercayaan serta pengembangan usaha ekonomi alternatif. Salah satu bentuknya adalah melalui pengembangan kerajinan anyaman bambu.
Kerajinan anyaman bamboo dipilih setelah melalui penggalian bersama dalam lokakarya desa untuk meningkatkan ekonomi rumah tangga. Anyaman bambu dipilih karena berlimpahnya potensi bambu di desa. Selain itu, perempuan desa sudah terbiasa dengan membuat anayaman bambu untuk kebutuhan rumah tangga seperti bakul, keranjang beras (kidding), dan tikar.
Untuk meningkatkan ketrampilan, kaum perempuan lalu menyepakati untuk menyusun rencana bersama, yang meliputi kunjungan banding ke sentra kerajinan di Kerinci, mengadakan pelatihan anyaman bambu dengan pelatih dari Kerinci, pembentukan kelompok pengrajin serta usaha pemasaran. Dari kunjungan banding, kaum perempuan belajar bagaimana mengolah bahan bambu menjadi sebuah produk bernilai jual tinggi, seperti wadah tissue, kotak kue, lampu tidur dan petromaks, serta bingkai foto. Kunjungan banding juga menjadi pemicu kaum perempuan untuk giat mengembangkan usaha kerajinan. Hingga saat ini, kendati belum berproduksi secara rutin, namun sudah mampu dijual ke desa-desa tetangga maupun dipamerkan di pameran pembangunan Kota Bungo.
Dengan berlangsungnya fasilitasi, ada perubahan kesadaran bahwa kerajinan anyaman bukan lagi menjadi sekadar pengisi waktu luang, tetapi juga dapat menjadi sumber pendapatan rumah tangga. Selain itu, dengan pembentukan kelompok kerajinan terjadi saling belajar dan membangun solidaritas antar kaum perempuan, baik antar generasi tua dan muda maupun antara penduduk asli dengan pendatang. Pembelajaran lainnya adalah melalui kelompok kerajinan ini, kaum perempuan mampu membangun jaringan konsultasi dan pemasaran hingga ke tingkat kecamatan dan kabupaten. Akhirnya, dengan keberhasilan yang diraihnya, kaum perempuan kini memiliki posisi tawar yang cukup tinggi dengan kaum lelaki, khususnya dalam pengambilan keputusan di tingkat desa.
[1] Lubuk larangan yaitu dengan membiarkan sebuah lubuk sungai selama 6 bulan hingga 2 tahun tidak dipanen ikannya, sehingga ikan punya cukup waktu untuk berkembang biak. Penutupan sebuah lubuk dilakukan dengan membacakansurah yasin 40 kali. Bagi siapa yang mengambil ikan selama penutupan lubuk akan dikenai sanksi adapt. Setelah dibuka, ikan dipanen dengan cara dilelang. Hasilnya digunakan untuk kepentingan kelompok.
sumber >> Hasantoha Adnan <jejakelana.blog.com>