Putus Sekolah, Sambung Hidup Dengan Jagung
[ATJEHTODAY] – Sebagian orang terkadang menganggap remeh para pedagang kecil, seperti halnya terhadap para perempuan penjaja jagung bakar di Desa Pulo Lawang, Kabupaten Bireuen, Aceh. Tapi jika dihitung, kegiatan kecil mereka tanpa disadari telah mengurangi beban Pemerintah dalam mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran.
Kalau anda ke Banda Aceh atau sebaliknya ke Medan melewati Kabupaten Bireuen, singgahlah di Desa Pulo Lawang, Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen. Di sana anda akan menjumpai sederetan lapak sederhana milik penjual jagung bakar yang mulai menjajakan dagangannya mulai pukul 3 sore sampai pukul 8 malam, bahkan kalau malam Minggu sampai pukul 11 malam, menurut keterangan beberapa penjual jagung bakar setempat.
“Banyak pasangan muda-mudi dari arah kota Bireuen yang menikmati jagung bakar ke mari kalau malam Minggu”, ujar beberapa dari mereka. Penjualan jagung bakar di daerah itu muncul sejak masa konflik, sekitar tahun 2003. Mulanya hanya beberapa buka lapak, tetapi pelan-pelan seiring berjalannya waktu dan terjadinya proses damai antara Pemerintah RI dan GAM pada 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia silam, jumlah penjaja jagung Pulo Lawan kian marak.
Peluang Di Saat Orang Jenuh Perang
Paska perdamaian antara Pemerintah RI dan GAM kehidupan malam juga mulai berdenyut, dan masyarakat Aceh yang selama ini sudah jenuh dengan konflik mulai mencari alternatif hiburan untuk melepas penat yang lama menghinggapi jiwa mereka. Tempat-tempat jajanan malam mulai bergeliat dan dipenuhi pengunjung yang ingin menghabiskan malam dalam aroma penuh kedamaian. Para penjaja jagung bakar dari Desa Pulo Lawang seakan menangkap peluang yang terbuka ini.
Meski pendapatan yang mereka peroleh tidak seberapa tetapi mereka mengaku senang. “Setidaknya dengan berjualan jagung bakar, kita bisa sedikit menutupi biaya rumahtangga dan untuk ditabung,” ujar seorang ibu muda penjaja jagung bakar. Dari pemantauan penulis, terdapat sekitar 60 lapak jagung bakar di sepanjang sisi kiri dan kanan jalan Medan-Banda Aceh. Lokasi sangat permai karena di latar terhampar persawahan. Di kejauhan menjulang bukit Cot Timphan, sungguh membawa kedamaian di hati.
Sayangnya, lapak- lapak sederhana tersebut terkesan dibangun seadanya, dengan atap daun rumbia dan sembarang kayu. Satu-satunya yang menyemarakkan lapak-lapak sederhana mereka adalah warna-warni bahan cetak iklan produk konsumen. Menurut keterangan beberapa penjaja, umumnya lapak-lapak itu bukan milik mereka, tetapi mereka sewa Rp. 3.000 sehari. Ada juga lapak milik pribadi yang mereka tempati.
Para penjual jagung bakar hampir semua perempuan, umumnya berusia belia dan putus sekolah. “Mungkin ini hanya kebetulan saja, atau bisa jadi sebagai penarik pembeli,” ujar Suryana tertawa, seorang penjual jagung bakar di situ. Suryana yang kelahiran 1988 mengaku telah menjadi penjaja jagung bakar selama 1,5 tahun dan mengenyam pendidikan hanya sampai lulus SMP. Menurut Suryana rata-rata ia mendapat keuntungan sekitar Rp 50 ribu per hari, itu kalau jagungnya laku sekitar 50 buah. Uang ia gunakan untuk jajan dan untuk ditabung, “Untuk jajan, Bang, daripada minta sama orangtua,” ujarnya ringan tanpa beban.
Jagung mentah dibeli dari agen penjual seharga Rp. 700 – Rp. 1.000 per buah dan dijual Rp 2.500 dan Rp. 3.000 setelah dibakar. Umumnya jagung-jagung berasal dari pegunungan Seulawah dan Takengon. “Kami membelinya dari agen yang datang ke mari,” lanjut Suryana, anak keluarga petani. Tidak jauh dari tempat Suryana berjualan ada Fitri, juga mengaku hanya tamatan SMP, yang baru dua bulan berjualan saat ditemui. Dengan malu-malu Fitri berkata, “Lumayan, bisa bantu orangtua dan buat belanja adik-adik.”
Jalankan Tanpa Banyak Bicara
Para perempuan penjual jagung bakar Desa Pulo Lawang mungkin tidak membesar-besarkan pekerjaan mereka, namun sesungguhnya usaha mereka berperan besar dalam membangun perekonomian skala kecil/mikro dan mengurangi angka pengangguran di Aceh umumnya dan di Desa Pula Lawan khususnya. Jika dihitung kasar, apabila setiap penjaja jagung bakar memperoleh keuntungan rata-rata per hari seperti yang diakui Suryana sebanyak Rp 50 ribu dan dikalikan sebulan atau 30 hari maka mereka akan memperoleh penghasilan sebulan sebanyak Rp. 1,5 juta. Ini sudah setara dengan gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) Golongan I.
Kalau ada 60 orang penjual jagung bakar di tempat tersebut, per hari secara kolektif mereka menghasilkan keuntungan Rp 3 juta, atau Rp 36 juta per tahun. Angka ini memang tidak tergolong besar untuk ukuran pengusaha kelas atas tetapi tetap sangat berarti bagi orang-orang kecil semacam Suryana yang hanya anak seorang petani dan juga Fitri yang masih harus menyisihkan sebagian penghasilannya yang tidak seberapa buat adik-adiknya yang masih bersekolah.
Yang patut diteladani adalah kenyataan bahwa walaupun kecil para penjual jagung bakar ini mampu memberikan konstribusi bagi keluarganya yang sangat membutuhkan. Mereka ikut mendongkrak pemberdayaan ekonomi masyarakat dan mengurangi pengangguran di Provinsi Aceh. Di saat Pemerintah, elit politik dan para pengamat ekonomi masih sibuk beretorika tantang konsep pemberdayaan ekonomi masyarakat, para perempuan-perempuan sederhana dari Desa Pulo Lawang sudah memulai memberdayakan diri sendiri nun di kaki Bukit Cot Timphan yang damai. Tidak perlu segala macam pengurusan dan pengajuan proposal yang ujung-ujungnya juga tidak jelas. Tidak terlihat gurat “gengsi” di wajah-wajah belia mereka yang polos dan lugu. Wajah mereka adalah wajah semangat kehidupan yang menggelora. Dengan bercanda, salah seorang dari mereka berkomentar, “Untuk apa gengsi, lebih baik jadi penjaja jagung bakar daripada jadi penjaja tubuh”. “Piyoh! Piyoh!” (Mampir! Mampir! – Bahasa Aceh), mereka berseru kepada pelalu-lalang. :: ATJEHTODAY/Hamdani SE MSM