Mitos Perempuan Desa di Awal 1990an Abaikan Sumbangan Utuh Mereka
HANCURKAN MITOS YANG KELIRU
Banyak orang menganggap, peranan ekonomi perempuan desa ditentukan perannya sebagai pencari nafkah dalam keluarga. Tanpa peran ini, mereka dianggap hanya benalu dalam ekonomi keluarga atau tidak memberi sumbangan apa-apa dalam perekonomian desa. Mitos ini menguntungkan pria.
Mitos ini berhasil mengabaikan banyaknya curahan waktu dan energi yang telah disumbangkan wanita dalam peranannya yang lain, yang secara tidak langsung dapat dihitung nilai ekonominya.
Staf Peneliti Pusat Studi PKLH IKIP Medan, Ichwan Azhari MS, menegaskan hal itu kepada 107 peserta lokakarya “Potensi Wanita Desa dalam Sektor Informal” di Pematangsiantar, medio Maret 1992. Sekitar 90 persen peserta adalah perempuan utusan Gereja-Gereja Sumatera Utara, Utusan Teologia Kristen dan Islam, Universitas Swasta/Negeri, LSM dan LPSM.
Karena itu, lanjutnya, peran perempuan sebagai “istri dan ibu” ataupun sebagai “pengelola rumah tangga” dalam konteks kehidupan di pedesaan tidak kita lupakan dan harus kita hitung sebagai sumbangan dalam perekonomian desa. Tidak lagi dianggap hanya benalu dalam ekonomi keluarga.
Empat peran
Sebelumnya, Magister dalam Sosiologi Pedesaan Fakultas Pascasarjana IPB Bogor itu menyebutkan empat peran perempuan dilihat dari sudut curahan tenaga dan waktu yang diberinya.
Dengan mengacu pada studi yang dilakukan Pudjiwati Sajogyo (1980, 1985, 1990), Boserup (1970), Levy (1949), Mayling Oey (1985), Glen Chandler (1985) dan Arief Budiman (1984) mengenai peranan ekonomi perempuan desa, Ichwan menjelaskan peran pertama perempuan sebagai istri dan ibu tempat di mana fungsi-fungsi kodrati dan biologis tampil sebagai perempuan. Perempuan harus mengandung, melahirkan, merawat dan mengasuh anak-anak serta memberikan cinta dan kasih sayang kepada anggota keluarga lainnya. Waktu dan energi yang diberikan perempuan di sini sering dilupakan.
Kedua, perempuan sebagai “pengelola rumah tangga” melakukan tugas-tugas rumah tangga seperti memasak dan kerja rumah lainnya yang bersifat rutin dan membosankan. Tetapi waktu dan energi yang diberikan perempuan sering dianggap hanya suatu kewajiban, dianggap bukan bekerja dan tidak memiliki nilai ekonomi. Padahal bila peran itu digantikan perempuan lain jelas sekali ada nilai uang dalam pekerjaan itu.
Ketiga, perempuan sebagai pekerja dalam satuan produksi rumah tangga. Di desa peran yang diberikan perempuan dalam usaha tani keluarga di sektor pertanian dan pada sektor luar pertanian itu ditemukan dalam beragam “industri” rumah tangga. Tenaga kerja perempuan dalam perannya itu adalah tenaga kerja tanpa ulah (unpaid family worker).
Keempat, perempuan sebagai pencari nafkah. Perempuan sebagai pekerja yang mendatangkan pendapatan langsung bagi keluarga maupun bagi dirinya, yang bekerja di sektor pertanian, baik di lingkungan desa maupun di luar desa. Umumnya mereka bekerja sebagai buruh tani, pedagang kecil-kecilan (marengge-rengge, istilah ibu-ibu di Sumatera Utara), buruh industri dan kerajinan, pegawai pemerintah dan swasta.
Tergusur
Masuknya teknologi pertanian dalam budidaya padi di sawah telah menggusur banyak tenaga kerja perempuan. Willian L. Collier menemukan, input tenaga kerja perempuan dalam sektor pertanian cenderung menurun, dari 65 persen (1920an), menjadi 53 persen (1960) dan 37 pCt (1979). Penggunaan bibit unggul dalam revolusi hijau telah menghasilkan tanaman padi yang panennya menggunakan arit dan menyingkirkan penggunaan ani-ani. Implikasi dari perubahan alat panen ini adalah tersingkirnya banyak tenaga kerja perempuan yang selama berabad-abad menggunakan ani-ani untuk memanen padi. Penggunaan arit untuk memenen padi unggul tidak hanya mengalihkan pekerjaan panen kepada tenaga kerja laki-laki, tetapi juga telah mengefisienkan penggunaan tenaga kerja, lanjut Ichwan. >>>