Saparinah Sadli: Pembelajaran Apa Sejak Kartini Tiada?
[KOMPAS] – Kartini bukan orang miskin. Sebagai istri bupati, ia mendapat pelayanan kesehatan optimal. Dalam buku Door Duisternis tot Licht, kematiannya direspons dengan pernyataan non-medis seperti: “Kartini sudah mengisyaratkan meninggal pada usia 25 tahun. Kartini minta adiknya (Rukmini) merawat bayinya andai kata ia meninggal”.
Pada catatan kesehatannya, tampak potret Kartini dengan kondisi fisik tidak baik (sering sakit) setelah menjadi istri Bupati Rembang. Keputusan Kartini memenuhi permintaan bapaknya untuk kawin menghancurkan hatinya. Dia mengubur aspirasinya menjadi perempuan mandiri. Ia jelas menderita secara psikologis dan memikulnya sendiri.
Sebagai Raden Ayu (suaminya punya tiga istri), Kartini menderita secara fisik dan psikologis. Selama hamil ia sakit-sakitan dan makin parah menjelang melahirkan. Kartini meninggal pada usia 25 tahun (sepuluh bulan setelah menikah).
Lalu, pembelajaran apakah yang dapat ditarik dari kematian Kartini ini?
Belum di jalur tepat
Akhir Maret 2010, pemerintah menyelenggarakan rapat koordinasi nasional. Tujuannya, meningkatkan sinergi pusat-daerah untuk mencapai Millenium Development Goals (MDGs) terutama poin 1 (kemiskinan), 4 (menurunkan angka kematian bayi/AKB), 5 (meningkatkan kesehatan maternal). Menurut Bappenas, target-target itu dapat dicapai Indonesia.
Namun, Women’s Research Center dalam penelitiannya menyebutkan: Menurunkan angka kematian ibu sesuai target MDGs 2015 sulit dicapai. Jakarta Post (5/3/10) memberitakan, pemerintah gagal memperbaiki kondisi kesehatan ibu. Terbukti angka kematian ibu (AKI) masih 228 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini diperdebatkan para ahli karena ada yang memperkirakan AKI lebih tinggi dari pemerintah.
Kita tidak perlu larut dalam kontroversi angka. Yang lebih penting adalah realitas di baliknya, yaitu hak hidup ibu Indonesia yang bertahun-tahun dilanggar. Menurut almarhum Prof dr Soedradji, ahli kebidanan, “Dengan kemajuan teknologi kedokteran di Indonesia, ibu meninggal karena komplikasi melahirkan seharusnya tidak terjadi.”
Gubernur Bali dalam Rakornas Maret 2010 menyatakan, persoalan melahirkan mendasari kualitas bangsa.
Arti kedua pernyataan di atas adalah dengan kemajuan ilmu kedokteran ibu meninggal karena komplikasi melahirkan tidak bisa ditoleransi lagi. Kartini mungkin meninggal karena masalahnya tidak terdeteksi dengan pengetahuan dokter pada zaman itu.
Namun, dengan AKI yang masih tinggi sekarang, adakah perubahan dalam penanganan AKI dibanding pada zaman Kartini?
Dalam paradigma baru, upaya penurunan AKI dikaitkan dengan kemiskinan global dan jadi salah satu tujuan MDGs. Apa ciri-ciri ibu miskin di Indonesia?
Ia miskin gizi, miskin pengetahuan kesehatan reproduksi, miskin waktu memeriksakan kesehatan, miskin keterampilan meningkatkan status ekonomi keluarga, miskin akses pelayanan kesehatan dan KB berkualitas, miskin perhatian dari lingkungan sosial-budaya yang membiarkan terjadinya perkawinan dan kehamilan usia dini dan menganggap biasa perempuan hamil makan terakhir, tidur terakhir, dan bangun terpagi.
Pemerintah memang tidak diam menghadapi AKI tinggi. Akan tetapi, program Make Pregnancy Safer sampai Suami Siaga selama bertahun-tahun belum signifikan menurunkan AKI. Perlu dicermati hasil pertemuan Bappenas, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Migrant Care dan donor yang mengidentifikasi sulitnya mengintegrasikan perspektif jender dalam proyek pembangunan (Kompas, 5/4/ 10).
Contohnya, Kementerian Pekerjaan Umum belum melihat relevansi perspektif jender dalam melaksanakan proyek-proyek besarnya. Padahal, KPI mengungkap desa yang tidak mempunyai jalan mempunyai AKI relatif tinggi. Jadi, bisakah disimpulkan target MDGs 5 tidak on track karena kebanyakan pejabat tidak memiliki perspektif jender?
Pembelajaran apa yang bisa ditarik dari bahasan di atas?
Pertama, pentingnya mengintegrasikan perspektif jender dalam semua program pembangunan berskala besar.
Kedua, pengarusutamaan jender dilakukan serius dan memastikan setiap kebijakan memuat perencanaan dan penyediaan anggaran yang “mempromosikan, melindungi, dan memberdayakan perempuan” (Presiden pada Hari Ibu 2009).
Ketiga, setiap pejabat berkesadaran AKI sebagai isu kesehatan reproduksi perempuan secara kompleks dipengaruhi faktor medis dan non-medis.
Keempat, mengembangkan toleransi nol terhadap pelanggaran hak-hak perempuan sebagai prioritas nasional.
Jangan diskriminatif
Meningkatkan kesehatan maternal memerlukan nilai, sikap, dan perilaku yang tidak mendiskriminasi hak-hak perempuan. Pada zaman Kartini diskriminasi dilakukan keluarga, pejabat pribumi, dan politik Pemerintah Belanda. Sekarang, diskriminasi dilakukan pejabat pusat dan daerah, tokoh masyarakat, dan tokoh agama.
Peningkatan kesehatan ibu- ibu miskin masih dihadang mitos “ibu meninggal karena melahirkan akan masuk surga”; oleh suami yang menentukan apa yang boleh dilakukan terhadap istri yang kehamilannya bermasalah dan bisa berakibat fatal; dan oleh petugas kesehatan yang tidak berperspektif jender.
Melahirkan bayi sehat oleh ibu yang sehat fisik, mental, dan sosial bukan isu perempuan, melainkan isu sosial-budaya-politik bangsa. AKI tinggi selama bertahun-tahun adalah dam- pak pembiaran pelanggaran hak-hak perempuan yang tergolong kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dari perspektif jender Kartini yang tidak miskin sangat menderita akibat nilai-nilai tradisi yang tidak menempatkan hak perempuan setara dengan laki-laki, serta politik Belanda yang tidak mendukung pemikiran progresif anak bangsa.
Perempuan Indonesia hari ini telah mencapai berbagai kemajuan, tetapi masih banyak perempuan mengalami penderitaan fisik, mental, dan sosial.
Dari perspektif HAM resistensi memakai perspektif jender tidak boleh memengaruhi pencapaian target MDGs. Apalagi karena semua tujuan MDGs berwajah perempuan. Dengan demikian, pada hari Kartini 2011 kita bisa melihat target MDGs 5 telah di jalur yang tepat. :: KOMPAS/21apr2010
Saparinah Sadli Guru Besar Psikologi UI; Pendiri Program Kajian Wanita UI; Pendiri Komnas Perempuan
foto-foto >> http://kajiangender.files.wordpress.com + Jakarta Post