Perempuan Dukuh Penggingwangi Tidak Meratapi Nasib
[SHEEPINDONESIA] – Penggingwangi merupakan sebuah pedukuhan baru yang secara administratif menjadi bagian desa Kasiyan, kecamatan Sukolilo, kabupaten Pati, Jawa Tengah. Pedukuhan yang awalnya merupakan sebuah rawa tersebut dihuni sekitar 47 kepala keluarga. Pada sekitar tahun 70-an, Pemerintah Desa mengusulkan agar rawa tersebut dikeringkan supaya dapat dibangun rumah sehingga jalan tembus ke kabupaten lain (kabupaten Kudus) yang berada di desanya dapat dilalui oleh masyarakat tanpa rasa takut.
“Saat itu, banyak masyarakat yang takut melewati lokasi ini karena sepi. Sekarang sudah ramai. Ratusan kendaraan baik sepeda motor maupun mobil tiap hari lewat sini,” jelas Mbah Kamisah, (63 tahun).
Ide Pemerintah Desa saat itu bersambut dan mendapat dukungan Pemerintah Kabupaten maupun Pemerintah Provinsi yaitu berupa bantuan 1 (satu) unit rumah bagi masyarakat yang bersedia tinggal di tempat itu dan penyediaan tanah gratis untuk lokasi pendirian rumah maupun lahan pertanian. Respon tidak hanya dari masyarakat sekitar, karena informasi juga diterima masyarakat dari kabupaten Pati, Demak dan Grobogan yang mulai berdatangan ke wilayah itu. Mereka bersedia tinggal di situ meski kondisinya masih belum layak.
“Dulu disini banyak rumah. Tapi ada yang sudah meninggalkannnya karena tidak tahan. Tiap tahun kami kebanjiran. Biasanya lebih dari 3 (tiga) bulan kami harus hidup bersanding dengan air banjir,” cerita H. Sariyo, tokoh masyarakat dukuh ini.
Dari Daerah Rawa Jadi Pemukiman Rawan
Beraneka ragam latar belakang masyarakat yang tinggal di lokasi itu membuat situasi pedukuhan seperti kompleks transmigrasi. Kondisi lain yang ditemukan; suasana kekeluargaan kurang terbina dengan baik, bahkan tidak ada tokoh kunci yang dapat menjadi acuan masyarakat, setiap orang memiliki ‘klan’ sendiri dan sulit dipetakan, serta praktik kasak-kusuk di tengah rapat warga menjadi hal biasa. Belum adanya tokoh kunci membuat keputusan rapat dapat berubah dalam waktu satu jam setelah rapat selesai dan tidak dijalankannya kesepakatan yang dibangun. Situasi tersebut sangat terlihat dalam pergulatan sosial di pedukuhan terutama di kalangan kaum lelaki yang membuat berbagai organisasi yang dibentuk hampir semuanya tidak berhasil. Beberapa dukungan usaha bagi kelompok laki-laki hilang tak berbekas tanpa ada pertanggungjawaban.
Situasi tersebut yang mendorong Yayasan SHEEP Indonesia (YSI) melalui program Masyarakat Tangguh (Resilient Community) melakukan pendekatan kepada para perempuan di pedukuhan tersebut. Pendekatan dimulai dari satu dua tiga orang yang teridentifikasi kredibilitasnya untuk memperjuangkan kehidupan masyarakat agar menjadi lebih baik. Setelah terkumpul 6 orang perempuan, YSI mulai melakukan pengorganisasian lebih intensif dengan melibatkan mereka dalam diskusi-diskusi sederhana, serta mendorong mereka untuk berfikir lebih kritis dan memfasilitasi pembentukan sebuah perkumpulan. Pada awal pengorganisasian terbentuklah Kelompok Perempuan dengan nama Kelompok Perempuan Penggingwangi sesuai nama pedukuhan mereka, dengan komitmen bersama yaitu membangun image bahwa kegiatan akan dapat berjalan efektif jika dikelola oleh para perempuan.
“Laki-laki di sini banyak yang merantau. Sebagian malah tidak kembali. Lupa kalau dia meninggalkan keluarga di sini. Apalagi kok diajak mikir organisasi dan berfikir untuk masyarakat. Untuk keluarga dan diri sendiri saja kadang dilupakan,” terang Muflihah, yang oleh para perempuan dipilih sebagai ketua kelompok.
Perubahan Melalui Swadaya Kaum Perempuan
Kelompok perempuan tersebut difasilitasi untuk merumuskan beberapa agenda kerja yang mengarah pada semangat awal dibentuknya kelompok, termasuk pentingnya pengembangan ekonomi yang dihubungkan dengan potensi diwilayah mereka. YSI memfasilitasi mereka untuk berdiskusi dan menawarkan beberapa pilihan. Pilihan tersebut memiliki batasan ketika yang dipilih adalah berbisnis untuk tambahan pendapatan keluarga. Jika akan berbisnis, kelompok harus mengacu pada komitmen kebersamaan dan kelestarian lingkungan, dengan kata lain mempertimbangkan 3 (tiga) hal; yakni “profit, people and planet”.
Pilihan bisnis yang paling menarik bagi mereka yakni memproduksi pupuk pertanian karena kontekstual dengan wilayah dan tempat tinggal mereka yang dikelilingi lahan pertanian yang sangat luas. Dukungan atas pilihan tersebut dilakukan dengan memberikan pelatihan cara membuat pupuk pertanian organik. Pembuatan pupuk dibuat dari bahan yang mudah didapatkan; yakni buah-buahan, bumbu dan sayuran dapur ditambah dengan air kelapa dan tetes tebu. Selain dilatih membuat pupuk organic cair, kelompok ini juga diberi pelatihan tentang kesehatan dan pertanian vertikultur.
Sejak November 2012 hingga Maret 2013, kelompok telah mampu menjual pupuk organik cair lebih dari 100 (seratus) liter. YSI memfasilitasi dalam pembuatan label kemasan pupuk dan sesekali membantu pemasaran. Beberapa anggota kelompok tani mitra YSI ikut memanfaatkan pupuk yang diproduksi kelompok terutama untuk pengembangan vertikultur di halaman rumah masing-masing.
“Saya kemarin panen tomat. Saya konsumsi sendiri, saya berikan ke tetangga dan saya jual. Dapat uang lebih dari 100 ribu. Tapi sudah habis,” terang Muflihah sang ketua kelompok. Sementara pengetahuan tentang kesehatan baru sebatas digunakan untuk masing-masing keluarga dan tetangga dekat, ketika ada yang sakit. Kebersamaan dan kepekaan anggota kelompok yang pernah mengikuti pelatihan kesehatan juga terlihat dengan kunjungan dan memberikan pertolongan pertama jika dibutuhkan serta berbagi pengetahuan tentang obat seperti tanggal kadaluwarsa dan cara membaca obat.
Dulu Air Bersih Didatangi, Kini Mendatangi
Tidak hanya itu, ketika musim kemarau, pedukuhan ini mengalami krisis air bersih. Merasa bahwa air bersih sangat penting bagi kesehatan masyarakat, kelompok ini melakukan advokasi untuk mendapatkan akses air bersih dari pemerintah. Difasilitasi YSI, pengurus kelompok membuat surat permohonan bantuan air bersih kepada pemerintah kabupaten. Diawali dengan meminta surat rekomendasi ke kepala desa, mereka berombongan pergi ke kantor Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kabupaten Pati untuk melayangkan surat permohonan bantuan air bersih. Mereka harus menempuh perjalanan sekitar 35 kilometer untuk sampai ke Kantor DPU Kabupaten. Disamping perjalanan yang cukup jauh, aksi ini merupakan pengalaman pertama sekaligus pengalaman yang sama sekali tidak pernah dibayangkan oleh mereka.
“Biasanya kami itu perginya ya ke sawah. Paling jauh ke pasar untuk belanja atau menjual sesuatu. Tapi Alhamdulillah, selang 2 (dua) hari mobil tangki air bersih bantuan dari kabupaten datang ke dukuh kami. Masyarakat berbondong mengambil air bersih. Kami bersyukur jerih payah kami bisa dinikmati masyarakat,” Terang Siti Karsanah, bendahara kelompok.
Setelah kiriman air pertama habis, kelompok kembali mengajukan permohonan bantuan. Akan tetapi sudah tidak lagi harus mendatangi kantor DPU. Cukup dengan menelepon pegawai DPU, air langsung dikirim. Selama musim kemarau, mereka mendapatkan kiriman air bersih sebanyak 7 kali (7 mobil tangki air). Saat ini, kelompok merasa sudah menemukan ritme-nya. Mereka mulai merencanakan berbagai kegiatan yang bisa dinikmati oleh masyarakat umum. :: SHEEPINDONESIA/11mar2013