Hitungan Kenapa Perempuan Petani Kerja Setengah Mati
Oleh Muryantisosilogi/Kompasiana
[KOMPASIANA] – Perempuan pedesaan memiliki peran yang besar dalam mengatur kondisi keuangan dalam rumahtangga. Mayoritas rumahtangga petani berada pada posisi subsistensi, yang ditandai secara struktural kondisi kehidupan yang cenderung minimalis dengan melakukan usaha-usaha kecil untuk bisa bertahan hidup dan secara kultural petani enggan mengambil risiko untuk mengatasi permasalahan subsistensinya. Upaya bertahan hidup ini merupakan kondisi yang erat dengan garis kemiskinan, ditandai dengan kekhawatiran kekurangan pangan.
Pada saat ini daya beli rumahtangga petani semakin menurun karena pendapatan yang diperoleh dari sektor pertanian tidak bisa mencukupi untuk ditukar dengan kebutuhan-kebutuhan subsisten, atau nilai tukar petani sangat rendah terhadap kebutuhan-kebutuhan subsisten. Kebutuhan subsisten tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut;
Setiap bulan seorang RTP (rumahtangga petani) dengan kurang lebih memiliki satu orang anak harus mencukupi kebutuhan subsistensinya sejumlah Rp 1.049.000 selama sebulan dan setahun sejumlah Rp 13.128.000 selama setahun, dengan rincian sebagian besar kebutuhan untuk makan dan sosial.
Bertani Saja Tidak Cukup
Untuk memenuhi kebutuhan subsistensi itu, jika perempuan petani mengandalkan hasil pertanian pasti hasilnya tidak cukup. Selama 1 tahun dengan tiga kali musim tanam, mayoritas musim tanam I, menghasilkan padi, rata-rata kepemilikan lahan sekitar 500 m2 hanya menghasilkan beras kurang lebih 4-5 karung beras; pada musim tanam II, tanaman padi hasilnya berkurang, menjadi 3-4 karung karena pasokan air yang berkurang dan musim tanam III lahan menghasilkan tanaman palawija. Hasil panen pada musim tanam I dan II digunakan RTP untuk cadangan atau stok pangan, kecuali pada kondisi terpaksa dijual, sedangkan palawija yang dikonversi dalam bentuk uang untuk mencukupi beraneka ragam kebutuhan rumahtangga petani.
Hasil panen selama 1 tahun itu dengan 3 kali musim tanam digunakan RTP untuk memenuhi kebutuhan subsisten, yakni kebutuhan harian makan dan kebutuhan sosial selama satu tahun. Upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut karena kekurangan dari hasil penen, beraneka usaha dilakukan petani dengan melakukan berbagai macam pekerjaan serabutan; tukang bangunan, buruh tani, berdagang, beternak, membangun usaha-usaha mikro dan mengadu nasib menjadi TKI/TKW di luar negeri. Pada kondisi kekurangan memenuhi kebutuhan subsistensi RTP ini, peran perempuan pedesaan di sektor ekonomi sangat dominan. Pembagian kerja yang nampak, perempuan menutupi kebutuhan subsistensi, sedangkan petani menutupi kebutuhan-kebutuhan simpanan untuk kepentingan jangka panjang, misalnya; membangun rumah, sekolah anak-anak, kendaraan, dan kebutuhan tak terduga.
Mbah Wagirah (56)
Seorang perempuan buruh tani di Pelemsari, Bokoharjo, Prambanan. Dia adalah penjaga subsistensi rumahtangga dengan mengandalkan tenaga untuk mendapatkan penghasilan dari sektor pertanian. Pekerjaan rutin yang menjadi penopang hidupnya; tandur yakni menanam padi, matun yakni panen padi, ndaut yakni membersihkan tanaman padi dari gulma dan rumput-rumput liar, menanam palawija, panen palawija dan bekerja serabutan di desa; rewang tetangga yang punya hajat (mantu), menjemur padi dan membantu orang-orang kaya di desa untuk mengerjakan pekerjaan rumahtangga. Bekerja di sektor pertanian, buruh tandur Mbah Wagirah mendapatkan upah Rp 5.000 dengan sekali mendapat snack dan makan siang, upah tersebut lebih rendah daripada buruh laki-laki Rp 6.000 dengan sekali snack dan makan siang. Pekerjaan matun mendapat upah 1/6 dari hasil panen dibagi dengan jumlah orang yang matun, misalnya hasil panen 6 kwintal, maka buruh matun mendapatkan 1/6 dari 6 kwintal yakni 1 kwintal = 100 kg. Jika buruh matunnya sebanyak 10 orang, maka Mbah Wagirah mendapatkan jatah 100/10, yakni 10 kg sekali matun. Sedangkan pekerjaan menanam atau panen palawija Mbah Wagirah mendapatkan upah Rp 5.000-Rp 10.000 sekali bekerja. Perempuan buruh tani seperti Mbah Wagirah ini, dengan hanya mengandalkan tenaga bekerja di sektor pertanian, sangat sulit untuk mendapat uang cash berapa pun jumlahnya dan hasil pertanian pun juga tidak melimpah karena sawah yang dimiliki kurang lebih 250-500 m2. Pekerjaan matun, tandaur dan menama palawija bersifat musiman. Kalau tidak ada pekerjaan itu, mereka pasti menganggur. Produktivitas yang rendah di sektor pertanian, menjadi penyebab kurangnya minat generasi muda melanjutkan pekerjaan ini. Perempuan di Bokoharjo bisa dihitung dengan jari yang mau bekerja di sektor ini.
Mbak Atun (29)
Ia merupakan satu-satunya perempuan di dusun Pelemsari yang mau menggeluti kotornya lumpur pertanian. Petani perempuan ini bersama dengan suami mengelola sawah yang disewa dari salah seorang perangkat desa Bokoharjo seluas 1.000 m2 dengan uang sewa senilai Rp 1.000.000 per tahun. Selama musim tanam I dan II ditanami padi dan pada musim tanam III ditanami kacang tanah. Dia berani berspekulasi menanam tanaman sayur mayur; sawi, bayam, cabe dan kacang panjang di sawah yang bisa dia jual sewaktu-waktu membutuhkan uang dan menguntungkan ketika harga sayur mayur mahal, meskipun pada kondisi cuaca buruk hasilnya merugi karena tanaman holtikultura tersebut lebih banyak yang membusuk.
Untuk menambal kebutuhan rumahtangga, bagi Mbak Atun, peranian bukan merupakan satu-satunya pekerjaan yang diandalkan. Dengan tenaganya, Mbak Atun masih beternak sapi; mencari rumput dan ngombor (memberi makanan tambahan berupa dedak atau polar) setiap hari, memandaikan sapi tiga hari hari sekali dan memeriksakan kesehatan sapi kepada mantri hewan juga dia lakukan. Tidak tanggung-tanggung, sapi peliharaannya ada 3 ekor. Berdesak-desakan dengan petani lain ketika memandikan sapi di kali, tidak malu dia lakukan untuk mencukupi kebutuhan rumahtangga. Pekerjaan bertani dan beternak itu dia lakukan sendiri karena suaminya menjalankan bisnis lain, yakni blantik kambing. Terkadang Mbak Atun juga meminta bantuan buruh tani untuk membantu tandur, matun dan daut. Penghasilan dari bertani dan beternak Mbak Atun gunakan untuk simpanan membeli tanah, membangun rumah yang dikerjakan mboko sithik dan membiayai sekolah kedua anak perempuannya. Sementara itu, bisnis blantik sapi yang dijalankan oleh suaminya tidak hanya sekedar bisnis jual beli semata tetapi juga pra jual beli, yakni perawatan dan penggemukan kambing. Sehingga pekerjaan mencari rumput harus dilakukan oleh suami Mabk Atun ini. Setengah dari luas rumahnya didesain untuk kandang penggemukan kambing. Bau kambing, kotoran ternak dan suara hewan peliharaan selalu menemani Mbak Atun dan keluarganya. Istilah jorok, bau dan tidak higienis tidak dia kenal karena usaha seperti itu dia lakukan untuk mengatasi subsistensi ruamh tangganya.
Iyem (28)
Ia anak seorang buruh tani miskin di dusun. Alasan mengapa rumahtangga Iyem tidak bertani; tidak memiliki lahan pertanian, tidak pernah diajari oleh orangtuanya bertani, hasil pertanian yang dijalankan oleh orangtua selama ini tidak mencukupi kebutuhan subsistensi keluarga dan pertanian itu tidak bergengsi serta jorok. Bagi Iyem yang berpendidikan hanya lulusan SMP untuk mendapatkan pekerjaan formal di desa atau merantau ke kota besar sangatlah berat, sehingga pekerjaan yang dilakukannya selama ini cenderung serabutan, demikian juga suaminya; pelayan toko, rewang tetangga, pabrik tegel, buruh bangunan, tukang semprot nyamuk demam berdarah ataupun membantu pekerjaan rumahtangga keluarga kaya di dusun. Pekerjaan serabutan dan tidak tidak tetap itu menjadikan keluarga Iyem “kekurangan” dan hidup dengan sangat bersahaja. Akan tetapi sedikit demi sedikit rumahtangga tesebut mampu mengumpulkan uang untuk membangun rumah sederhana yang belum dilepo, belum berlantai tegel, perabotan rumahtangga ala kadarnya dan memiliki simpanan untuk biaya sekolah kedua anak laki-lakinya.
Mbak Yuni (32)
Ia tidak bergelut di sektor pertanian. Harapan rumahtangga Yuni ini lebih tinggi daripada Iyem. Cita-cita dan harapan itu diwujudkan dengan menjadi TKI/TKW di Malaysia. Bagi pasangan suami istri ini, mengadu nasib di luar negeri adalah pilihan yang dianggap mendatangkan kesejahteraan keluarga, bahkan pasangan rumahtangga ini memulai perjumpaan di Malaysia juga, ketika sama-sama masih bekerja di pabrik. Untuk bisa bekerja di Malaysia tidaklah murah. Orangtua Mbak Yuni harus mengeluarkan uang jutaan Rupiah yang diperoleh dari menjual sapi simpanan dan pinjaman sana-sini dari keluarga dan tetangga lain, bahkan ketika pada kondisi kepepet dan tidak mempunyai simpanan lain, tanah warisan orangtua terpaksa direlakan dijual dan mereka menggarap lahan sewa milik pejabat desa untuk mempertahankan subsistensinya. Setelah kontrak selama 2 tahun di Malaysia, pasangan ini memutuskan tidak bekerja lagi di luar negeri karena mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi dan mulai memilih bekerja di negeri sendiri walaupun hasilnya tidak seberapa dan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan subsistensi rumahtangga. Pulang kampung, rumahtangga Mbak Yuni sudah mampu membangun rumah menengah dengan bahan-bahan serba mahal dan membuka usaha kelontong dan berjualan sayuran keliling setiap pagi hari. Pendapatan kecil, pasti dan rutin yang dia geluti mampu mencukupi kebutuhan subsistensi keluarganya pada skala kecil.
Mbah Wagirah, Mbak Atun, Iyem dan Yuni merupakan bagian dari perempuan-perempuan pejuang di pedesaan untuk bisa bertahan hidup. Perempuan ini tidak mengenal kesetaraan gender dan perjuangan gerakan perempuan, tetapi dalam praktek sosial dan ekonominya, kesetaraan dan perjuangan sudah mereka lakukan untuk bisa hidup seperti orang-oarang kaya desa dan gaya hidup orang kota yang mereka ketahui dari berbagai macam iklan di televisi, satu- satunya hiburan yang mereka miliki. Mereka terus berjuang untuk menyejahterakan keluarga, masyarakat sekitarnya dan demi anak-anak mereka sebagai penerus perjuangan suci perempuan-perempuan desa. :: KOMPASIANA/mei2012
http://sosbud.kompasiana.com/2012/05/24/perjuangan-perempuan-desa-tiada-pernah-berakhir/
sumber foto >> http://khairilakbaribnsyarifel-induniesy.blogspot.com