Sri Wahyaningsih Rintis Sekolah yang Menyatu Dengan Alam
(KORAN TEMPO) ~ Tempat bermain itu ada di tengah hamparan sawah. Ada tiga unit terpisah di area tersebut. Masing-masing untuk belajar menulis, belajar membaca, dan tentu saja bermain. Gedungnya tentu bukan dari tembok beton, tapi berbahan kayu dan bambu. Bentuknya panggung. Sederhana. Angin semilir, menyegarkan.
Sementara di sekeliling, hamparan rumpun padi menguning, siap dipanen. Sepetak tak ditanami padi. Seorang petani terlihat sedang membajak, menggemburkan tanah.
Terletak di pinggiran Kota Yogyakarta, tepatnya di Desa Nitiprayan, Kecamatan Kasihan, Bantul. Sanggar Anak Alam atau biasa dikenal dengan SALAM menjadi tempat cocok buat si upik dan si buyung yang ingin belajar.
Bukan hanya belajar membaca dan menulis, tetapi juga belajar tentang alam dan kehidupan, yang tentunya dengan fun ala anak-anak.
Tak heran, tak ada anak cemberut di area tersebut. Bahkan selepas bermain dengan guru, sawah dan lumpur menjadi salah satu tempat bermain mereka.
Sri Wahyaningsih, 47 tahun, yang menjadi penggagas model sekolah yang ramah anak dan ramah lingkungan ini. Ibu tiga putra ini yang mulai mendirikan SALAM di Yogyakarta empat tahun silam. Dan model yang dia kembangkan sejak beberapa tahun sebelum pembukaan di Yogya ini kini telah merebak di beberapa daerah di Indonesia.
Perempuan berkaca mata minus yang tutur katanya halus ini boleh di bilang berkemauan keras. Tentu tak dengan mantra “sim salabim” Sanggar Alam bisa setenar sekarang.
Mula-mula Wahya, demikian dia biasa disapa, mengikuti sang suami Toto Raharja ke daerah Lawen, Banjarnegara, yang bekerja di lembaga swadaya masyarakat. Karena pekerjaan suaminya selalu berhubungan dengan masyarakat, Wahya pun ikut menceburkan diri. Dia bergumul dengan anak-anak Lawen. Bermain, memberikan buku gratis, dan mengajari mereka belajar membaca. Sedangkan untuk ibu-ibu mereka, Wahya mendampingi dengan menjual keripik untuk menambah penghasilan, mengembangbiakkan ternak hingga membentuk koperasi mandiri buat mereka.
Pada awalnya, bukan hal mudah dia mendampingi masyarakat Lawen. “Susah sekali karena orang tua menginginkan anak-anaknya juga bekerja.” Tapi, dengan bekal kesabaran, perlahan Wahya mulai memperoleh kepercayaan dari orang tua mereka.
Komunitas anak Sanggar Alam Lawen akhirnya terbentuk pada 1988. “Nama SALAM berasal dari ide murni anak-anak Lawen,” ujar Wahya.
Lepas dari Lawen, perempuan kelahiran Klaten ini pindah ke Yogyakarta pada akhir 1990-an. Di Yogyakarta, dia menjadi Ketua RT. Dia menyaksikan banyak ibu rumah tangga yang menganggur. Bermula dari arisan,
akhirnya digagaslah sebuah tempat bermain buat anak-anak yang belum sekolah. Mereka disediakan buku anak-anak dan sang guru menjadi pendongeng.
Para relawan mengajar tanpa memungut biaya. Lambat laun, peserta di SALAM semakin banyak. Wahya pun kemudian mendatangkan guru.
Dua tahun kemudian dibuat sistem dengan uang masuk dan membayar uang bulanan. “Itu pun yang menentukan orang tua sendiri,” katanya.
Karena peserta kian banyak dan guru-guru harus diberi honor dan membutuhkan biaya operasional. Maka mulailah ada penarikan uang pendaftaran. “Uang pendaftaran Rp 25 ribu, uang masuknya Rp 200 ribu. Uang untuk snack dan SPP Rp 40 ribu per bulan,” kata Wahya. Bagi yang tidak mampu, membayar lebih murah.
Kini total murid yang belajar bermain dan bersekolah ada sekitar 100 orang.
Tak lama kemudian, setelah mendapat banyak liputan di media, banyak pihak yang ingin belajar ke SALAM, dari Aceh hingga Papua. Mereka berdatangan. Ada yang mengadopsi, ada yang sekadar studi banding.
Wahya mengatakan daerah yang mengaku terinspirasi dan membuat sanggar serupa ada di wilayah Grobogan, Semarang, Aceh, dan Papua. Tapi, kalau dengan nama SALAM, dia menjadi penggagas sekaligus pendiri Sanggar Anak Alam Lawen dan Sanggar Anak Alam Lebak bulus, Jakarta.
Dia mengaku banyak yang memintanya membuka cabang. Wahya mengatakan proses pendirian SALAM bersifat alamiah, harus berbasis komunitas. “Tanpa konsistensi dan ada komunitas yang membentuknya, sulit,” ujarnya.
Sanggar Anak Alam sebagai pusat pendidikan berbasis komunitas kampung punya perhatian khusus terhadap proses imajinasi yang merdeka dan penguasaan kemampuan serta sikap sosial anak sejak dini. Sanggar ini mendampingi anak dalam berekspresi melalui musik, teater, seni rupa, serta memfasilitasi anak bereksplorasi di alam dusun, sawah, serta kampung sebagai media untuk mendorong dan mengenali sehingga dapat mengaktualisasi diri. Moto sanggar ini adalah “mendengar saya lupa, melihat saya ingat, melakukan saya paham, menemukan sendiri saya kuasai”.
“Kami tidak hanya mengajari hafal-hafalan, ” katanya.
Keinginan Wahya membuat sekolah alternatif dengan alasan bahwa pendidikan selama ini dinilai hanya pembelajaran sepotong-potong. Karena itu, dia ingin memberikan alternatif pendidikan yang bisa menjawab permasalahan hidup. Peran orang tua memang menjadi prioritas Sanggar Alam. “Orang tua harus terlibat dalam tumbuh-kembang anak,” ujarnya.
Karena itu pula, di Sanggar Alam, tidak diajarkan pelajaran agama, tapi pelajaran religiusitas. Menurut dia, pendidikan agama bukan tanggung jawab sekolah, melainkan orang tua.
Beberapa penghargaan Wahya raih, di antaranya dari Ashoka Indonesia untuk wirausaha sosial dengan bidang kerja pendidikan masyarakat pedesaan pada 1991, juga sebagai Insan Permata untuk pendidikan dari
Bank Permata pada empat tahun silam.
Wahya masih bermimpi. “Saya ingin semua orang berhak mendapat sekolah untuk kehidupan yang bisa diterapkan.” (BERNARDA RURIT ~ Koran Tempo/09/06/2008)