LBH Apik: Kacau, Perlindungan Negara Atas WNI Di Luar Negeri
Nirmala Bonat, Ceriaty, Yanti Irianti, Umi Saodah, David Wijaya, dan Manohara merupakan gambaran jelas masih kacaunya perlindungan Negara Republik Indonesia terhadap warga negaranya yang tengah berada di negara asing. Dapat kita saksikan dan rasakan betapa tidak jelasnya Warga Negara Indonesia mendapatkan dan mengakses keadilan serta perlindungan dari Pemerintah Indonesia ketika berada di negeri orang. Kasus di atas hanyalah segelintir kasus yang menjadi fenomena karena berhasil diangkat ke publik. Sementara masih banyak sekali kasus yang tidak terpublikasikan di media dan menjadi kasus yang terabaikan.
Per Mei 2009 ini, LBH Apik jakarta menerima pengaduan sebanyak 21 kasus terkait dengan perlindungan Warga Negara Indonesia di luar negeri. 21 kasus
tersebut terdiri dari 10 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam perkawinan campuran, 4 kasus kekerasan dalam pacaran (KDP) dari warga negara asing, 6 kasus buruh migran dan 1 kasus adopsi oleh perkawinan campuran. Semua jenis kasus ini umumnya mengalami kendala dalam hal sulitnya mengakses perlindungan dari pemerintah dan kurangnya atau tidak adanya respon positif dari perwakilan pemerintah Indonesia di negara lain (KBRI).
Kendala-kendala ini terkait dengan tidak adanya sosialisasi peraturan dan mekanisme perlindungan yang ada. Aturan dan konsekuensi dari WNI yang bekerja di luar negeri, melakukan perkawinan campuran (beda warga negara), melakukan adopsi anak dalam perkawinan campuran, berpindah tempat tinggal, dan lain-lain. Yang lebih penting lagi bahwa WNI yang melakukan perkawinan campuran atau bekerja di luar negeri tidak hanya WNI yang berasal dari golongan menengah atas, tetapi juga menengah bawah yang tidak semuanya mempunyai akses informasi maupun akses layanan dari pemerintah Indonesia.
Padahal seharusnya perlindungan terhadap warga negara itu harus secara menyeluruh dan merata sehingga dapat dirasakan oleh semua WNI. Hal ini sesuai dengan komitmen negara Indonesia yang tercermin dalam aturan hukum nasional ataupun perjanjian internasional yang sudah diratifikasi, antara lain UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), UU No. 9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga jo PP No. 4 Tahun 2006 tentang Kerjasama Pemulihan dan Rehabilitasi Korban KDRT, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil dan Politik, UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan masih banyak payung hukum lain yang telah dilahirkan.
Terkait kondisi tersebut di atas, LBH Apik Jakarta dan Aliansi Pelangi Antar bangsa (APAB) melihat bahwa:
1. Minimnya atau tidak adanya pemahaman tentang perlindungan terhadap warga negara dan perspektif Hak Asasi Manusia oleh staf Perwakilan Pemerintah R.I di negara asing menyebabkan ketidaksiapan dan ketidaksigapan mereka dalam memberikan perlindungan kepada warganya;
2. Belum terintegrasikannya prinsip-prinsip perlindungan dan penghormatan Hak Asasi Manusia yang ada di beberapa instrumen hukum internasional ke dalam intrumen hukum nasional Indonesia;
3. Perwakilan Pemerintah Indonesia belum mempunyai sistem dan mekanisme pengaduan serta penanganan kasus kekerasan yang dialami oleh WNI di negara asing;
4. Persoalan kekerasan terhadap perempuan termasuk di dalamnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan buruh migran belum menjadi bagian atau persoalan yang penting dalam tugas Perwakilan Pemerintah R.I di negara asing sebagai salah satu upaya memajukan dan menegakkan perlindungan Hak Asasi Perempuan;
5. Masih belum terpenuhinya kewajiban negara dalam melindungi warga negara yang seharusnya melekat pada setiap warga negara dimanapun berada, baik dalam situasi terdokumentasi maupun tidak terdokumentasi, yang berhadapan dengan konflik hukum, budaya dan sosial, bahwa warga negara berhak mendapatkan perlindungan sebagai upaya mencapai tujuan negara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Menyikapi fakta-fakta tersebut diatas, kami LBH APIK Jakarta dan Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB) menyatakan bahwa:
1. Pemerintah Indonesia c.q Departemen Luar Negeri harus segera melakukan tindakan menyiapkan sistem dan mekanisme pengaduan dan penanganan kasus kekerasan yang dialami WNI di negara asing dengan mengacu pada hukum yang non diskriminatif, berkeadilan dan berkesetaraan gender;
2. Pemerintah Indonesia c.q Departemen Luar Negeri dalam proses penugasan dinasnya wajib memberikan pelatihan dan sosialisasi kepada stafnya tentang penanganan dan perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap WNI di negara asing.
3. Pemerintah segera melakukan sosialisasi dan informasi tentang tata cara WNI dalam mendapatkan perlindungan hukum dan HAM.
Jakarta, 4 Juni 2009
Estu Rakhmi Fanani Dewi Tjakrawinata
Direktur LBH APIK
Jakarta Koordinator
Aliansi Pelangi Antar Bangsa