Kisah Keuletan Tiga Mama Asuh Di Timor Barat
[VOLKESBLOGSPOT] ~ Elisabeth Namok, belum genap 30 tahun. Tidak terlalu tinggi, sekitar 150-an sentimeter, gemuk, berambut ikal. Oleh anak-anak asuhnya akrab dipanggil Ma Elis. Ini kali kedua saya bertemu dia. Pertama saat pelatihan Relawan Informasi Komunitas (RIK) di Emaus-Nenuk, Timor, akhir Nopember 2005. Ia bersedia menjadi RIK di kamp pengungsi yang berada di Dusun Weraihenek, Desa Kabuna, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, hingga saat ini. Orangnya cerewet, supel, enak diajak diskusi.
Pada suatu hari Minggu di bulan Agustus 2006, saya dan dua rekan saya, Ape dan Jacko, berkunjung ke kiosnya di Haliwen, yang terletak di samping stadion olah raga setengah jadi milik kabupaten Belu, NTT. Sebuah kios sederhana, berdinding bebak, beratap seng. Tepat di pertigaan jalan Haliwen-Silawan dan Weraihenek. Di sebelahnya ada lapak billiard yang selalu ramai dikunjungi orang. “Masuk dulu, saya baru pulang misa ini,” ajak Elis. Di ruangan berukuran 4×2 meter yang bersebelahan dengan kios kecil miliknya, ada beberapa pemuda tanggung sedang asyik menonton pertandingan tinju Rahman vs Maskaev lewat layar sebuah televisi 14 inch dekat pintu masuk pintu. Juga ada beberapa anak kecil duduk lesehan di bawah, beralaskan selembar tikar lusuh.
“Sekarang ini, ada sembilan anak yang kami asuh,” kata Elis menunjuk kumpulan anak kecil di hadapan kami. Dari kesembilan anak yang diasuhnya itu, cuma dua anak yang belum sekolah, masih kecil. Sedang tujuh lainnya sudah, dua di tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), satu di SMP dan empat lainya masih di bangku Sekolah Dasar (SD).
“Kami ada tiga orang yang urus ini anak dong. Saya, Ma Eny dengan Ma Ela,” sambungnya. Elis Namok, berasal dari Dafala-Wedomu di wilayah Timor Timur, kini Timor Leste. Sementara Eny Mooy berasal dari Pulau Rote, sedangkan Ela atau Angelina Bui adalah sepupu Elis. Ketiganya dulu sama-sama bekerja di Dili wilayah Timor Timur namun pergi meninggalkan Timor Timur mengungsi masuk wilayah Timor Barat dan berdiam di Atambua, ibukota Kabupaten Belu, NTT, setelah konflik pasca jajak pendapat di Timor Timur pada tahun 1999.
“Ceritanya cukup panjang e.. .sampai kami tiga orang ini bisa jadi begini,” kata Ma Elis. bersambung ke halaman berikut >>