Perempuan Donggala Masih Pegang Kuat Tradisi Tenun Buya Sabe
[TITIKEMBUN] ~ Kota Donggala di Kabupaten Donggala ditawarkan sebagai salah satu tujuan wisata Sulawesi Tengah. Dari Kota Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah, perjalanan menuju Donggala bisa ditempuh tidak lebih dari satu jam naik mobil karena jaraknya hanya 40 kilometer. Bila Anda belum pernah mendengar namanya, ambil buku ‘Tenggelamnya Kapal Van der Wijck‘ yang ditulis tahun 1938 oleh Buya Hamka, ulama dan budayawan yang besar namanya. Atau bacalah ‘Tetralogi Pulau Buru‘ sajian sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Di kedua buku itu, nama Donggala disebut sebagai tempat singgah para pelaut Nusantara dan mancanegara. Donggala memang identik dengan kota pelabuhan. Kota tua ini pernah menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda kala mana pelabuhannya dijadikan pelabuhan niaga dan penumpang. Tidak heran masih banyak bangunan tua tersisa di kota ini.
Sekitar dua kilometer arah barat Kota Donggala terdapat wilayah bernama Banawa Tengah di mana masih ditemukan kegiatan tenun tradisional yang aktif menghasilkan berhelai-helai Buya Sabe, atau sarung tradisional khas Donggala, setiap bulannya.
Saat hentakan-hentakan balida yang bertemu dengan pasak alat tenun tradisional sudah dapat didengar dari kejauhan, itu tanda anda sudah dekat dengan Desa Limboro, Kecamatan Banawa Tengah, Kabupaten Donggala. Balida adalah palang kayu panjang yang jadi pemberat di tengah lipatan kain tenun saat penenun memasukkan benang-benang. Biasanya terbuat dari kayu ulin atau ebony.
Perbendaharaan tenun adat Indonesia umumnya hanya sebatas tenun Songket dari Palembang atau Ulos dari Sumatera Utara. Tidak banyak yang tahu bahwa Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, ikut memperkaya perbendaharaan tersebut dengan tenun Buya Sabe dari benang sutera alam sebagai warisan budaya turun-temurun. Desa Limboro adalah salah satu pusat tenun Buya Sabe yang masih hidup dewasa ini. Tak kurang dari 100 perempuan dari segala usia setiap hari menekuni kearifan budaya ini baik sebagai sumber mata pencaharian utama maupun sebagai mata pencaharian sampingan. Biasanya mereka menenun mulai pukul 09.00 hingga 12.00. Lalu diteruskan lagi pukul 13.00 hingga 17.00. Ada pula yang menenun di malam hari mulai pukul 19.00 hingga 22.00.
Utuh Karena Turun-temurun Dan Komitmen Pemda
Setiap satu helai Buya Sabe dihargai Rp 150 ribu. Sesungguhnya bukan jumlah yang memadai mengingat pengerjaan Buya Sabe sangat menyerap waktu, tenaga dan keterampilan khas. Pembuatan tenun Buya Sabe boleh dikatakan mirip dengan umumnya pembuatan tenun adat di daerah-daerah lain, baik dari segi proses pewarnaan benang hingga penenunan. Coraknya Buya Sabe bervariasi, sehingga terdapat banyak istilah untuk menunjukkan keragaman itu, seperti kain palekat garusu, buya bomba, buya sabe, kombinasi bomba dan sabe. Dari sekian corak tersebut, buya bomba adalah corak yang paling sulit dibuat dan membutuhkan waktu pengerjaan satu hingga dua bulan. Corak-corak lainnya rata-rata membutuhkan cukup satu hingga dua minggu saja.
“Untuk Buya Bomba, kami mengerjakannya dengan sangat hati-hati. Karena corak yang akan dihasilkan sangat banyak. Biasanya pembuatannya sampai dua minggu atau sebulan. Biasa ada yang bilang corak bunga mawar,” kata Habona, perempuan penenun di Limboro yang berusia 56 tahun.
Kalsum, seorang gadis remaja berusia 21 tahun, juga berkata senada. “Susah juga awalnya, setelah terbiasa kita jadi menikmatinya.” Kalsum datang dari keluarga yang turun-temurun penenun, dan dirinya belajar menenun langsung dari ibunya.
Kearifan tenun adat Buya Sabe masih sangat aktif di Donggala karena selain di Desa Limboro, terdapat juga komunitas-komunitas penenun tradisional di desa-desa Salu Bomba, Tosale, Towale dan Kolakola yang kesemuanya berada di barat Kota Donggala. Tradisi tenun Buya Sabe bertahan hingga kini berkat terjaganya kearifan tenun di garis turun-temurun perempuan masyarakat asli Donggala, kemudian diperkuat lagi oleh kebijakan Pemerintah Kabupaten Donggala yang secara spesifik melindungi kearifan budaya ini melalui suatu peraturan daerah. Di tingkat Provinsi Sulawesi Tengah, setiap hari Sabtu para Pegawai Negeri Sipil (PNS) diwajibkan memakai kemeja atau atasan yang dibuat dari kain Buya Sabe.
“Perda itu bertujuan menjaga agar tenun Donggala bisa lestari dan tidak diduplikasi oleh pihak lain,’’ kata Habir Ponulele, Bupati Donggala. Harga beli di pasar bisa berlipat kali dari jumlah yang diterima langsung oleh penenun. Bergantung coraknya, harga bagi konsumen berkisar dari Rp 300 ribu hingga Rp 650 ribu.
Sumber >> ‘Buya Sabe, Kisah Balida dan Benang Sutera’ di Blog Titik Embun, http://jgbua.wordpress.com/2008/05/26/buya-sabe-kisah-balida-dan-benang-sutra/