Dr Siti Fadillah Supari Giring Dunia Berbagi Virus Flu Secara Adil, Transparan dan Setara
Pada WHO Intergovernmental Meeting on Pandemic Influenza Preparedness [IGM – PIP] yang berlangsung di Jenewa, Swiss, dari 7 sampai 13 Desember 2008, telah dicapai bersama lima terobosan menuju suatu tatanan baru pertukaran virus flu yang adil, setara dan transparan antar para anggota WHO, setelah pada tahun 2006 Menteri Kesehatan RI Dr Siti Fadillah Supari Sp. JP(K), didukung negara-negara berkembang lainnya, menyuarakan keberatan akan tatanan WHO yang sudah berjalan hampir 60 tahun.
Menteri Kesehatan memimpin delegasi Indonesia pada IGM-PIP di Jenewa, didampingi oleh Wakil Ketua Delegasi yaitu Staf Khusus Menteri Kesehatan Dr Widjaja Lukito, dan pejabat senior Deplu sekaligus Penasihat Hubungan Internasional Departemen Kesehatan Makarim Wibisono. Lebih dari 100 negara mengirim wakil-wakilnya ke perundingan antar-pemerintah ini, yang juga dihadiri kalangan pengamat, wakil-wakil non-pemerintah dan hadirin dari sektor industri. Kesepakatan yang dicapai pada forum ini kelak akan dibawa ke Sidang Kesehatan Dunia [World Health Assembly] yang akan diselenggarakan Mei 2009 oleh WHO [Badan Kesehatan PBB] untuk ditimbang menjadi resolusi bersama para anggota PBB.
Mencari tatanan baru yang adil dan transparan dalam berbagi sampel virus flu burung telah menjadi semacam perjuangan nurani bagi Dr Siti Fadillah Supari. Sebagai Menteri Kesehatan RI, ia secara terbuka menyatakan keberatan pada sistem berbagi virus yang hampir 60 tahun dijalankan oleh WHO karena dinilai sebagai cara lihai segelintir negara industri maju mengambil keuntungan dari keluguan negara-negara pengirim sampel virus. Maka pada November 2006 Menkes Siti Fadillah Sapari memerintahkan penghentian pengiriman sampel virus flu burung Indonesia ke laboratorium WHO karena bersiteguh bahwa WHO memberi akses sampel hanya kepada beberapa negara industri maju, untuk diam-diam dikembangkan menjadi vaksin komersial oleh perusahaan-perusahaan swasta, tanpa sepengetahuan dan tanpa memberi keuntungan apa pun kepada negara penyumbang sampel virus. Praktek berbagi sampel dengan pihak swasta, yang sesungguhnya pelanggaran atas aturan WHO sendiri, mengakibatkan pendaftaran paten-paten vaksin flu burung berada di tangan beberapa negara industri saja, sementara bagian dunia lainnya tanpa berdaya dibuat bergantung pada vaksin mereka.
Dr Siti Fadillah Supari memberi gambaran akan tidak adilnya sistem yang berlaku ketika menyatakan, “Ironisnya, pembuat vaksin adalah perusahaan yang ada di negara-negara industri, negara maju, negara kaya, yang tidak mempunyai kasus flu burung pada manusia. Tapi kemudian vaksin itu dijual ke seluruh dunia, juga ke negara kita, tetapi tanpa sepengetahuan apalagi kompensasi untuk si pengirim virus, yaitu saudara kita Vietnam.”
Pada bulan Mei 2007 Indonesia kembali mengirim sampel vaksin flu burung jenis H5N1 ke laboratorium WHO setelah dua bulan sebelumnya sudah memperoleh jaminan dari badan PBB tersebut bahwa akses pada sampel virus juga terbuka bagi negara-negara lain yang ingin mengembangkan vaksinnya sendiri. Tuntutan akan ‘benefit sharing’ — tatanan berbagi sampel virus yang adil, setara dan transparan, sebagaimana diajukan oleh Dr Siti Fadillah Sapari kepada WHO — mendapat dukungan kuat dari negara-negara berkembang anggota PBB, terutama dari 11 negara anggota SEARO [Sout East Asia Regional Organization], Brazilia, dan AFRO [African Regional Office].
Buku Catatan yang Menggugat Kuasa Adidaya
“Sehebat apa pun teknologi Medimmune [perusahaan pengembang vaksin AS – red], jika ditempelkan di jidatnya ‘kan tidak akan menghasilkan seed virus H5N1 strain Indonesia,” kata lulusan kedokteran Universitas Gadjah Mada yang juga lulus program doktor di Universitas Indonesia itu dalam buku berjudul ‘Saatnya Dunia Berubah – Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung ‘ yang ia luncurkan pada awal Januari 2008. Melalui buku setebal 182 halaman ini, Dr Siti Fadillah Supari berbagi catatan pribadinya tentang pengamatannya, pemikirannya dan gagasannya menghadapi praktek pertukaran virus melalui mekanisme WHO yang sudah lebih dari 50 tahun menjadi selubung negara-negara industri maju untuk mendapatkan keuntungan komersial secara sepihak.
Jika selama itu para penyumbang sampel virus flu tidak tahu lagi diapakan dan dikemanakan sampel setelah dikirim ke laboratorium WHO, Dr Siti Fadilah Supari menggugat sistem yang ada dan menuntut sistem baru yang adil, transparan dan setara. Ketiga asas ia jabarkan berikut:
Adil artinya negara miskin yang mendapat penyakit flu burung mendapatkan hak atas virus yang dimilikinya. Jika virus itu dibuat vaksin, maka negara korban akan mendapat haknya atas vaksin sesuai aturan.
Transparan artinya negara yang menderita maupun negara lain mengetahui pasti ke mana virus itu perginya, diapakan, oleh siapa, dan yakin bahwa virus itu tidak digunakan untuk senjata biologis.
Setara artinya antara pengirim virus dan pembuat vaksin setara, selevel.
Meskin versi bahasa Inggris dari bukunya tertahan dari peredaran luas karena permintaan WHO dan Amerika Serikat, namun pada bulan Agustus 2006 dunia pernah membaca majalah The Economist menulis:
“Siti Fadilah Supari boleh jadi memulai suatu revolusi yang bisa menyelamatkan dunia dari dampak buruk suatu wabah penyakit menular. Ini semata karena Menteri Kesehatan Indonesia tersebut telah memilih sebuah senjata yang terbukti lebih bermanfaat katimbang vaksin terampuh mana pun dalam menanggulangi ancaman wabah virus flu burung — yaitu, transparansi.”
Benefit Sharing Setara Dengan Virus Sharing
Mengingat betapa hebatnya tantangan untuk mengubah suatu tatanan yang berpihak pada negara-negara adidaya, kesepakatan yang dicapai antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang di IGM-PIP merupakan terobosan bersama yang menggembirakan, dan terutama sangat membesarkan hati Menkes Dr Siti Fadillah Supari. Menurut Wakil Ketua Delegasi Indonesia Dr Widjaja Lukito, kelima terobosan yang dibuat di pertemuan Jenewa 7-13 Desember 2008 itu adalah:
Pertama, disetujuinya penggunaan Standard Material Transfer Agreement [SMTA] dalam sistem virus sharing [berbagi virus], di mana SMTA adalah dokumen yang akan mengatur secara standard, universal dan berkekuatan hukum semua prosedur pertukaran virus maupun bagian-bagiannya.
Kedua, prinsip-prinsip SMTA secara umum disetujui oleh semua negara anggota termasuk pengakuan atas perlunya mengintegrasikan sistem benefit sharing [berbagi manfaat] yang selama ini gigih diperjuangkan oleh Indonesia, didukung negara-negara berkembang lain. Tepatnya, pernyataan IGM berbunyi: “Negara-negara anggota setuju untuk berkomitmen berbagi virus H5N1 dan virus influenza lainnya yang berpotensi pandemi, serta menganggap virus sharing setara benefit sharing, sebagai bagian penting dari langkah kolektif demi kesehatan publik secara global.”
Ketiga, integrasi prinsip benefit sharing ke dalam SMTA.
Keempat, komitmen negara maju untuk benefit sharing secara kasat/nyata termasuk dalam berbagi risk assessment dan risk response.
Kelima, terwujudnya Virus Tracking System dan Advisory Mechanism untuk monitoring dan evaluasi virus dan penggunaannya.
Makarim Wibisono dalam pernyataannya kepada sidang mengungkapkan penghargaan pada Amerika Serikat yang bersikap konstruktif dan bahwa komitmen Amerika Serikat merupakan langkah yang baik menuju persetujuan menyeluruh pada pertemuan itu. Sementara wakil negara-negara Afrika, seperti Nigeria, menunjukkan rasa penghargaannya dengan menyatakan bahwa terobosan-terobosan itu dihasilkan karena Amerika Serikat dan Indonesia telah saling melangkah mendekat dan memperkecil perbedaan pendapat.
Dr Widjaja menambahkan, “Bahkan telah disetujui untuk meninggalkan sistem Global Influenza Surveillance Network-nya WHO yang telah berlaku selama 60 tahun, dan menggantinya dengan mekanisme baru dan nama baru, dengan demikian mengubah tatanan berbagi virus dalam dunia kesehatan. Menteri Kesehatan Dr Siti Fadillah Supari mengusulkan agar mekanisme baru yang lebih adil, transparan dan setara tersebut dinamakan WHO Influenza Network”.
Makarim Wibisono, penasehat hubungan internasional Departemen Kesehatan mengatakan, “Walaupun Naskah Persetujuan belum sepenuhnya disetujui dan masih menyisakan sejumlah masalah untuk dipecahkan, namun terobosan yang prinsip telah dicapai.” Pimpinan sidang IGM sebagai penutup menyatakan bahwa, “Masih ada sejumlah isu yang perlu dipecahkan akan tetapi sidang melihat titik akhir sudah dalam jangkauan. Demi kepentingan kesehatan global, kita harus menemukan solusi dan menyelesaikan urusan ini agar IGM dapat melapor kepada World Health Assembly.”
Jika disahkan pada WHA ke-62 bulan Mei 2009, Standard Material Transfer Agreement [SMTA] akan berkekuatan hukum dan dengan demikian akan merubah secara radikal tatanan pertukaran sampel virus dalam sebuah kerangka yang lebih adil, transparan dan setara — membuka akses pada informasi virus influenza, yang berarti membuka peluang besar untuk para peneliti negara berkembang untuk meningkatkan kapasitas penelitiannya sehingga Indonesia dan negara berkembang lainnya dapat mengembangkan sendiri alat diagnostik, vaksin dan obat-obatan melawan virus flu burung.
dirangkum dari sumber-sumber:
http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=3247
http://www.sudutpandang.com/inspiring-person/siti-fadilah-sapari-menghancurkan-lingkaran-setan-dunia/
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0802/22/kesra03.html