Perempuan, Penjaga Kebudayaan
GEOTIMES.CO.ID — Kebudayaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan cipta, rasa, karsa dan hasil karya masyarakat (UU No. 5 tahun 2017, pasal 1 ayat 1). Makanya kebudayaan sangat kompleks karena di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan lain yang terdapat dalam masyarakat.
Di saat masyarakat berhadapan dengan struktul sosial dan sistem ekonomi yang eksploitatif seringkali menyebabkan kegundahan budaya (culture insecurity). Dalam struktul sosial misalnya perempuan acapkali diabaikan suara dan pilihannya dalam menentukan kebijakan.
Tentu ini menyebabkan ketidakadilan gender (gender inequality). Padahal dalam Inpres No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender menitikberatkan upaya kesetaraan dan keadilan gender melalui perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi seluruh sektor pembangunan dengan melibatkan perempuan.
Begitu juga jika sistem ekonomi yang tidak demokratis telah memusatkan kontrol atas pembuatan keputusan dan sumber daya alam dengan menggusur manusia dari kerja produktif dan kehidupannya. Lalu menciptakan kekacauan budaya dan tatanan sosial masyarakat.
Aktivitas ekonomi hanya dilihat sejauh mana akumulasi modal terpenuhi dan akses distribusi barang yang lancar tanpa melihat keseluruhan sistem sosial dan ekologis masyarakat.
Kalau dilihat dari strategi ekonomi Indonesia beberapa tahun terakhir bergerak di bidang industri ekstraktif, dan jasa yang didalamnya mencakup infrastruktur dan pariwisata. Pilihan strategi ekonomi pemerintah banyak bersentuhan dengan masyarakat adat yang memiliki nilai kultural dan keadaban yang tidak sesuai dengan gagasan ekonomi liberal. Maka konflik antara masyarakat adat dengan perusahan marak terjadi.
Menurut Konsorsium Pembaharuan Agraria terjadi peningkatan konflik agraria, misalnya 252 kasus di tahun 2015, 450 kasus di tahun 2016, 659 kasus di tahun 2017, dan 410 kasus di tahun 2018.
Padahal bagi masyarakat adat, tanah dan hutan bukanlah benda mati. Ia adalah sebuah ekologi yang hidup. Manusia, tanah dan hutan memiliki ikatan emosional dan kultural yang membentuk tata nilai dan peradaban masyarakat. Kita bisa mendengar bagaimana narasi tanah sebagai ibu, gunung dan batu sebagai tulang, dan air sebagai air susu ibu. Maka menjadi penting mendiskusikan peran perempuan dalam kebudayaan.
Narasi dan Tradisi Kebudayaan di Hidupi Perempuan
Dalam diskusi “Perempuan Penjaga Kebudayaan” yang dilaksanakan pada 3 Juli 2019 di Yogyakarta yang dipantik oleh Ade Tanesia selaku antropolog, Erna Wati selaku aktivis perempuan dan Hairus Salim selaku pemerhati budaya menguatkan tesis perempuan yang menghidupi kebudayaan.
Ade Tanesia yang selama ini banyak melakukan catatan etnografi di berbagai daerah di Indonesia menuturkan pengalamannya berinteraksi dengan masyarakat Suku Pagu di Kecamatan Malifut, Halmahera Utara bercerita mengenai sosok perempuan bernama Afrida Erna Ngato menjadi kepala Suku Pagu dengan mulai menghidupkan kembali kebudayaannya seperti bahasa, anyaman dan pengobatan tradisional.
Erna Wati selaku aktivis perempuan yang pernah mendampingi warga di Desa Antajaya di Bogor dan Desa Cigunungherang di Jawa Barat yang menceritakan bagaimana para perempuan di dua desa tersebut memenuhi kehidupan harian dan menjaga tanahnya. Sedangkan Hairus Salim selaku pemerhati budaya menuturkan bagaimana kebudayaan sebagai identitas tetapi juga berkaitan dengan sistem ekonomi, struktur sosial dan eksistensi suatu masyarakat.
Kebudayaan sebagai sebuah identitas bisa terancam akibat konflik komunal, moderenisasi dan pengaruh agama resmi. Untuk itu perlu melihat kebudayaan tidak hanya secara material tetapi juga spiritual yang dihidupi masyarakat. Kebudayaan yang dijalani secara spiritual dihidupi oleh perempuan seperti penggunaan bahasa, masakan di dapur, tradisi pengobatan, mantra, ritual dan anyaman.
Perempuan lebih mampu menjaga kebudayaan karena dalam struktul sosial yang patriarki, perempuan cenderung jarang berinteraksi dengan pihak luar sehingga masih bisa menjaga bahasanya. Begitu juga dalam hal kuliner di mana resep masakan diingat dan dipraktikkan oleh perempuan.
Dalam hal pengobatan tradisional juga sangat banyak perempuan sebagai tabib yang bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. Dari pengobatan tradisional, perempuan bersentuhan dengan tanaman obat-obatan, mantra dan ritual. Jadi praktis perempuan melakukan praktik kebudayaan.
Maka tidak mengherankan kalau perempuan disebut sebagai penjaga kebudayaan. Karena dari semua yang dijalani oleh perempuan mencerminkan praktik kebudayaan yang dihidupi oleh masyarakat.
Hairus Salim lalu mencontohkan tradisi memandikan anak ke sungai. Ketika suatu kebudayaan melakukan ritual memandikan anak ke sungai maka ada pelafalan mantra, penggunaan kain adat dan penjagaan sungai. Dari situ terlihat ada kesatuan ekologi antara manusia, kebudayaan dengan tanah sebagai sumber airnya.
Lalu Tri Agus sekalu akademisi menanggapi paparan pembicara dengan mencontohkan pola konsumsi mahasiswa yang berbeda antara yang mendapat beasiswa dengan yang dibiayai oleh orang tuanya. Mahasiswa dari daerah yang mendapat beasiswa lebih terlihat konsumtif daripada mahasiswa yang dibiayai oleh orang tuanya. Dari sini terlihat bagaimana konsumerisme juga merasuki anak muda yang sebenarnya tidak terlalu sesuai dengan kebudayaan yang mereka hidupi di daerah.
Untuk itu dalam narasi perempuan penjaga kebudayaan perlu dilihat bagaimana peran perempuan sebagai pelaku kebudayaan. Memang kebudayaan masyarakat bisa terancam oleh moderenisasi yang menawarkan pilihan-pilihan instan seperti makanan dan pola hidup. Akan tetapi kebudayaan sebagai penjaga tata nilai, praktik hidup juga perlu terus dipelihara.
Saat ini sangat banyak persoalan yang dialami oleh komunitas ketika berhadapan dengan sistem ekonomi yang eksploitatif dan konsumerisme. Namun perempuan mampu menjaga kebudayaan dan lingkungannya. :: GEOTIMES.CO.ID/06JUL2019