Perempuan Nelayan Indonesia Kerja 17 Jam Sehari Tanpa Diakui
[KIARA] ~ Dalam sektor perikanan, perempuan nelayan di Asia menghadapi diskriminasi dan non-prioritas dalam kepemilikan sumber daya, akses atas penghidupan dan pendidikan yang layak. Masyarakat internasional, bahkan komunitas lokal, belum memahami posisi perempuan sebagai nelayan sebab secara eksistensi, peran perempuan dalam pengelolaan perikanan dan kelautan belum diakui, sehingga pekerjaan mereka tidak dihargai. Demikian hikmah yang terkedepan pada Konperensi Regional Asia untuk membahas Perempuan Dalam Perikanan yang diselenggarakan oleh SEAFISH dan jaringan LSM rekanannya di Asia dari tanggal 2 hingga 5 Desember 2008 di Hanoi, Vietnam.
Walau perempuan pesisir tidak melaut, akan tetapi 50% kerja dari nelayan dilakukan oleh perempuan. Mereka melakukan kerja-kerja mengumpulkan ikan-ikan di pinggiran pantai, mengambil kerang, bahkan tak jarang perempuan menjadi manajer kapal dan menjual hasil tangkapan ke pasar.
Perempuan nelayan Indonesia melakukan kerja-kerja pengumpulan hasil perikanan dan bekerja 17 jam dalam sehari untuk mengerjakan pengolahan paska pengambilan hasil perikanan, seperti mengeringkan ikan, memperbaiki jala, dan menyiapkan bekal melaut untuk suami, bahkan berdagang ikan di pasar. Bahkan ketika pabrik pengolahan ikan dibangun, merekalah yang lebih dahulu kehilangan pekerjaan sebab keterampilan mereka mudah tergantikan oleh mesin.
Demikian pula di Filipina, dilaporkan bahwa perempuan terbatas aksesnya atas modal, pelatihan, studi dan informasi atas hak dan hukum, minimnya keterwakilan perempuan dalam badan-badan pembuatan keputusan, juga tidak ada kebijakan perempuan dalam sektor perikanan serta program yang terbatas aksesnya. Di Kamboja, perempuan berkontribusi setidaknya 20% dari produksi perikanan setiap tahunnya melalui pengambilan ikan skala kecil [Poh Sze Choo. 2008. Women in Capture Fisheries and Aquaculture: identifying issues; providing solutions. The WorldFish Center Asian., hal 5]. Perempuan Vietnam terlibat erat dengan pengolahan hasil perikanan. Dalam sektor akuakultur, 82% pekerjanya adalah perempuan, sementara dalam jasa hasil perikanan adalah 62%. Akan tetapi mereka kehilangan akses dan kendali atas sumber daya pesisir, dan dikelilingi oleh komunitas yang bias gender.
Dalam konperensi, hadir wakil-wakil dari SEAFISH dan LSM-LSM: Tambuyog dari Filipina, FACT (Fisheries Action Coalition Team) dari Kamboja, SAM (Sahabat Alam Malaysia) dari Malaysia, dan KIARA (Fisheries Justice Coalition) dari Indonesia. Center for Marinelife Conservation and Community Development [MCD] bertindak sebagai tuan rumah. Pertemuan tak sekadar menjadi respon sementara terhadap upaya mengangkat perempuan nelayan sebagai bagian dari komunitas, melainkan bertekad menjadi awal dari usaha jangka panjang, yaitu: pembentukan regional plan of action advokasi perempuan dalam perikanan. Turut hadir pembicara Chandrika Sharma dari International Collective in Support of Fishworkers (ICSF) dan Poh Sze Choo dari The WorldFish Center.
Dari hasil diskusi panjang selama tiga hari, forum telah mencapai POA (plan of action) dari perumusan masalah yang diangkat dari tiga kelompok: Fisheries and Market, Shrimp and Aquaculture serta CBCRM (Community Based Coastal Resources Management) dan Trade.
Dari konperensi terungkap bahwa perempuan nelayan di Asia memahami kondisi dan permasalahan yang mereka hadapi, mengidentifikasi secara mandiri akar permasalahan. Dengan demikian mereka mampu mencari sendiri solusi akan kebutuhan-kebutuhan diri mereka. Akan tetapi, para peserta mengakui bahwa rencana tindakan bersama ke depan dan solusi bersama untuk masyarakat perempuan nelayan secara kolektif tidak akan dapat berjalan tanpa kerjasama. Disepakati bahwa SEAFISH dan anggota-anggotanya, bersama-sama dengan masyarakat perempuan nelayan dan LSM-LSM terkait di Asia, bahu-membahu akan mencari pemecahan dan menyusun agenda ke depan.
Berdasarkan agenda per negara, khususnya untuk sektor akuakultur di Indonesia, hasil riset industri udang, dan apa dampaknya terhadap komunitas lokal, telah diperoleh. Aktivitas berikutnya dalam agenda Indonesia adalah pengembangan sektor dan penataran keahlian buruh perempuan dan petambak. Dalam hal ini, Charoen Phokpand tercatat sebagai industri udang terbesar di Asia dan Indonesia menjadi penekanan utama dari kampanye. Di sektor perdagangan pada agenda, SEAFISH dan jaringannya akan merumuskan program yang bertujuan mengentaskan kemiskinan dan keterbelakangan perempuan pesisir melalui penguatan pasar lokal.
Koordinator SEAFISH Arsenio Tanchuling menegaskan, “Jaringan akan bekerjasama untuk menghapuskan ketimpangan dan diskriminasi terhadap perempuan atas akses terhadap, kontrol atas dan keuntungan dari sumber daya perikanan dan pesisir, dan layak dituntut akuntabilitas pemerintah atas penyelenggaraan hak perempuan, termasuk hak reproduksi.”
SEAFISH akan melaksanakan rencana aksi untuk mengangkat agenda ini di Asia, yang kelak mencakup analisa mendalam tentang perempuan nelayan, unsur penguatan organisasi perempuan nelayan, termasuk kapasitas mereka untuk terlibat dalam pengelolaan sumber daya dan penghidupan yang berkelanjutan, di samping advokasi untuk kebijakan yang mengangkat kebutuhan dan kepentingan mereka.
Di bawah ini adalah tabel rincian tiga wilayah agenda yang dirumuskan pada konsperensi. [disunting dari sumber asli >> www.kiara.or.id + foto: yusfida photobucket blog]
|
|
|
---|---|---|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|