PEKKA Dampingi 1.300 Perempuan Jabar Jadi Kepala Keluarga
Organisasi yang menyebut diri Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) akan memperluas basis pengorganisasiannya di enam kabupaten di Jawa Barat, yaitu Kab. Garut, Kab. Indramayu, Kab. Ciamis, Kab. Cirebon, Kab. Majalengka, dan Kab. Sumedang. Saat ini, anggota PEKKA wilayah Jawa Barat telah mencapai lebih dari 1.300 orang, tersebar di Kab. Subang, Kab. Karawang, Kab. Sukabumi, dan Kab. Cianjur. Demikian keterangan yang diperoleh dari Penanggung Jawab PEKKA Jabar Oemi Faezathi ketika menyampaikan rencana organisasi setahun ke depan dalam dialog dengan anggota legislatif di Gedung DPRD Jabar, Jln. Diponegoro No. 22 Kota Bandung, pada akhir November 2008.
Rombongan PEKKA diterima oleh anggota Fraksi PDIP Selly Andriani Gantina, Ketua Fraksi PKB DPRD Jabar Hj. Imas Masithoh M. Noor, dan Asisten III Bidang Kesejahteraan Sosial Pemprov Jabar Pery Soeparman. Para wakil DPRD Jabar tersebut menyampaikan rasa salut mereka kepada para perempuan yang mengorganisasikan diri di dalam PEKKA. Tujuan wadah PEKKA adalah mendampingi para perempuan yang berperan sebagai orangtua tunggal untuk mengambil posisi tanggungjawab sebagai kepala keluarga, melepaskan segala konstruksi sosial akan predikat ‘janda’ yang umumnya melumpuhkan ruang-kembang seorang perempuan. “PEKKA akan berperan penting, apalagi di tengah prediksi bahwa angka kemiskinan Jabar akan meningkat 13% pada tahun 2009,” ujar Pery Soeparman.
PEKKA mulai dikembangkan pada tahun 2000 dari gagasan awal Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan [Komnas Perempuan] yang ingin, pertama, mendokumentasikan kehidupan warga janda di wilayah konflik dan, kedua, memenuhi keinginan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) merespon permintaan janda korban konflik di Aceh Darussalam untuk memperoleh akses sumberdaya agar dapat mengatasi persoalan ekonomi dan trauma mereka. Itulah sebabnya pada awal perkembangannya, prakarsa ini dinamakan ‘widows project’ [program pendampingan para janda]. Komnas Perempuan meminta Nani Zulminarni, yang waktu itu adalah ketua Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW), untuk menjadi koordinator program.
Melalui proses refleksi dan diskusi intensif dengan berbagai fihak, Nani kemudian mengusulkan mengintegrasikan kedua maksud-tujuan awal tadi ke dalam sebuah upaya pemberdayaan yang lebih komprehensif. Maka tema dan judul ‘widows project’ dialihkan ke suatu konsep yang lebih provokatif dan ideologis, yaitu pemberdayaan yang bertujuan menempatkan janda lebih pada kedudukan, peran, dan tanggungjawab sebagai kepala keluarga, bukan sebagai perempuan malang yang hina, tidak berdaya dan tidak berguna. Selain itu, upaya ini diharapkan mampu pula membuat perubahan sosial dengan membangun martabat status janda. Nani Zulmarni mengusulkan judul Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga, atau disingkat Program PEKKA, yang mana disepakati oleh semua pihak. Selain itu, istilah PEKKA juga membuka diri kepada komunitas-komunitas yang lebih ragam, seperti perempuan miskin yang berstatus mengambang karena suami pergi merantau tak berberita, perempuan hamil dan mempunyai anak setelah ditinggal laki-laki yang tidak bertanggungjawab, perempuan lajang yang belum kawin namun menanggung beban keluarga, dan para istri yang bersuamikan penyandang cacat atau penderita sakit permanen. Kelompok-kelompok perempuan tersebut menghadapi stigmatisasi dan persoalan yang mirip dengan para janda pada umumnya.
Keberanian Seorang Mimin Melawan Arus
Pada tahun 2006, pertemuan-pertemuan yang dilakukan oleh para janda di Desa Sukasirna, Kec. Cibadak, Kab. Sukabumi, Jawa Barat, menarik perhatian seorang warga desa itu yang bernama Mimin Mintarsih. Rasa ingin tahu Mimim, orangtua tunggal dari tiga anak itu, tidak terbendung lagi sehingga pada suatu saat ia gabung dengan para janda lain yang rutin bertemu dalam wadah yang difasilitasi PEKKA. Setelah ditinggal cerai suaminya, Mimin [40an tahun] dituntut oleh keadaan untuk berperan sebagai kepala keluarga. Bukan cuma beban biaya hidup yang harus ia pikul berat, melainkan juga beban stigma sosial yang harus ia tanggung sebagai yang manusia yang dijudulkan oleh masyarakat sebagai ‘janda’. Tindak-tanduknya mudah menjadi bahan kecurigaan dan pandangan yang timpang sering memutus akses ekonomi dirinya. Keadaan semakin sulit lagi setelah kedua orangtuanya meninggal dunia. Mimin mengaku tak tahu lagi harus mulai dari mana untuk bangkit dari keterpurukan.
“Akhirnya, saya memberanikan diri ikut rapat-rapat PEKKA”, cerita Mimin kepada koran Pikiran Rakyat seusai mengikuti rombongan PEKKA ke DPRD Jabar. “Setelah itu, saya menabung di PEKKA, membuka usaha dagang nasi…sampai sekarang.” Mimin sempat lama ragu karena termakan isu yang ditiupkan ke warga desa bahwa perkumpulan para janda itu adalah “kegiatan Partai Komunis Indonesia (PKI)”. Menurut Mimim, desa yang dikuasai oleh peraturan para warga lelaki itu cenderung mengekang para warga perempuan untuk berkumpul, kecuali untuk arisan dan mengaji.
Bagi seorang perempuan kampung yang berpredikat janda, Mimin adalah salah satu yang berhasil mengalahkan ketakutannya dan merebut kembali hak-haknya sebagai manusia yang setara. Selain berdaulat secara ekonomi, Mimin kini merasa lebih percaya diri karena mengerti proses politik dan sistem politik di Indonesia. “Saya jadi mengerti buat apa kita memilih partai pada pemilu dan posisi kita dalam sistem di negara ini,” tuturnya.
Demikian juga dengan Ade (63) di Kp. Pasir Talaga, Kec. Talagasari, Kab. Karawang, yang mengaku telah membangun kembali kepercayaan dirinya yang lama sekali lenyap. Di kampungnya, banyak perempuan yang kini melihat dirinya sebagai pemimpin keluarga, bukan sebagai perempuan yang tidak berdaya setelah menjadi orangtua tunggal. Ade kini menekuni usaha tambak ikan lele, bekerja di sawah, memasak, menjahit, dan aktif dalam organisasi. Para anggota PEKKA berumur dari 20 hingga 70 tahun, di antara mereka terdapat banyak perempuan lajang yang menanggung keluarga. Di rapat-rapat tingkat desa para anggota PEKKA kini kerap menjadi narasumber, seperti anggota bernama Nani Rukmini (39) yang terpilih menjadi anggota Panitia Pemungutan Kecamatan (PPK) Kec. Tanjungsiang, Kab. Subang.
sumber >> Pikiran Rakyat / 27 November 2008 + www.pekka.or.id