[cerpen] Rahim
Cok Sawitri
NAMA saya Nagari. Umur, tigapuluh tahun. Tanpa harus dijelaskan, saya sudah paham. Sore itu, sehabis mandi dan rambut saya masih basah, pintu kamar kontrakan saya diketuk berulang kali. Tiga orang lelaki dengan sorot mata sopan menjemput saya. Dari jip yang menanti di halaman, kemudian dari deru mesinnya yang tipis, tak kalah tipis dari udara sore itu, ditambah lagi tutur sapa mereka yang berat dan tegas, tanpa harus dijelaskan, saya paham apa yang tengah terjadi.
Mereka, tiga orang lelaki itu, membawa saya ke sebuah rumah. Sebuah rumah dengan lantai licin dan dingin. Lantai yang membentuk lorong panjang, membelah puluhan pintu-pintu kamar yang saling berhadapan. Kemudian langit-langitnya begitu tinggi dan bila melangkah atau berbisik, tembok-temboknya memantulkan kembali suara-suara bercampur desir yang aneh. Rumah itu mirip hotel tua yang sudah dipensiunkan. Udara yang bergerak di dalamnya terasa demikian uzur.
Sampailah saya pada sebuah kamar. Tiga orang lelaki itu mempersilakan saya masuk ke dalam hanya dengan isyarat tangan. Dan, ketika tubuh saya melewati batas pintu, secara naluriah saya menangkap isyarat-isyarat asing, menerka-nerka kamar macam apa yang tengah saya masuki.
Sebuah meja yang tidak terlalu besar, tidak juga terlalu kecil, terbuat dari bahan kayu besi. Lalu dua buah kursi yang diletakkan berseberangan saling berhadapan, jam dinding yang memantulkan suara detak jam pada tiap kali geraknya membuat jantung lebih cepat berkerut. Belum lagi udara yang memasuki hidung begitu sarat mengandung debu yang seketika membikin tenggorokan tercekat perih.
Pintu di belakang tubuh saya otomatis menutup sendiri. Sisa desir anginnya, membuat saya seperti merasa didorong ke kubangan pasir, menyebabkan leher terasa demikian berat dan kaku. Sekali lagi, detak jarum jam dinding itu membuat pori-pori saya mengembang membentuk lubang dingin. Menggigilkan hati.
Saat itu, saya tidak memerlukan penjelasan apa pun, secara naluri saya mengerti, mengapa mereka, tiga orang lelaki itu, memasukkan saya ke kamar ini.
Karena sebelumnya, entah suatu kebetulan, seminggu yang lalu, seorang sahabat telah mengingatkan saya akan kemungkinan semacam ini. Tetapi peringatan sahabat saya itu, sungguh sulit saya percayai. Memang, sudah sering saya dengar kabar-kabar tentang berbagai kejadian aneh dan tidak logis yang menimpa banyak orang. Misalnya, ketika seorang teman dengan mata tertutup dibawa di tengah malam oleh sekelompok lelaki.
Teman saya itu diajak berputar-putar, tetapi entah kemana, teman saya tak pernah ingat. Dia hanya ingat diajak berkeliling! Tanpa henti dan tidak pernah berhenti. Dia juga ingat, selama perjalanan berputar-putar itu tak ada satu pun orang dari para lelaki yang membawanya itu menyapa dia dengan sepatah kata sekalipun! Teman saya hanya mendengar suara langkah sepatu dihentak-hentak silih berganti dengan letup kosong gerakan pelatuk pistol, membentuk irama dingin dan mencekam ulu hati. Entah apa namanya peristiwa itu. Teror. Intimidasi. Pengalaman gelap. Entahlah. Saya tidak paham. Sebab teman saya itu akhirnya dikembalikan seperti sedia kala ke rumahnya. Sampai kini dia tetap hidup normal. Juga tidak ada sekecil apa pun sebagai suatu tanda pernah mengalami suatu peristiwa. Yang tersisa dari peristiwa itu, sebuah sorot mata, yang bila saya ajak bertukar pandang, membuat perasaan seperti tersedot pusaran angin. Atau secara pongah saya seolah melihat di lubang matanya telah tumbuh sebatang pohon besar dengan akar ketakutan yang demikian hebat.
Ya, memang besar perbedaannya antara mendengarkan cerita dengan saat mengalami sendiri, bahwa kejadian semalam itu, yang dialami oleh teman saya itu, yang semula hanyalah cerita-cerita penghangat disaat minum kopi dapat menjelma sebagai kenyataan. Dialami oleh siapa saja. Tetapi, saya sulit percaya apabila itu kemudian terjadi terhadap diri saya.
Nyatanya, saya mengalami, tetapi saya merasa lebih beruntung dibandingkan dia. Setidaknya, saya paham, sesuatu telah direncanakan untuk saya dan saya siap mengalaminya. Karena itu saya tidak perlu penjelasan. Kamar saya ini sudah lebih cukup dari selembar kertas penuh kalimat penjelas.
NAMA saya Nagari. Pekerjaan…kadang saya menulis, kadang saya bernyanyi, kadang (kalau apa yang selama ini saya kerjakan, bisa disebut pekerjaan).
Ya itulah pekerjaan saya. Tepatnya, menghibur orang!
“Alamat?”
“Bukankah Bapak telah tahu,” saya berusaha menenangkan hati. Mencoba menatap mata lelaki di hadapan saya, yang saya kira matanya (barangkali) tidak bersaraf karena nyaris tak pernah mengedip. (Seperti mata ular. Konon ular tak pernah berkedip sepanjang hidupnya!).
“Ini prosedur biasa. Alamat saudari?!” ulangnya dengan suara kalem
“Di rumah kontrakan 2212.”
Lelaki itu mengatup bibirnya. Bajunya putih berjaket kulit dengan lengan yang ujung-ujungnya nampak kumal. Bibirnya hitam karena kebanyakan nikotin. Jemarinya tampak gemuk dan kasar. Tetapi wajahnya dalam siraman cahaya lampu yang saya perkirakan sebesar 25 watt, tampak berkilat-kilat, penuh semangat.
“Saya harapkan kerja sama Saudari. Biar kita bisa segera pulang. Saya sudah capek. Saudari juga capek. Jadi, mari kita bekerja sama …”
Suara lelaki itu entah kenapa terdengar di telinga saya seperti lelucon- lelucon yang biasanya disisipkan oleh teman-teman bila ngobrol santai di kafe. Suara yang sengaja disopan-sopankan, suara sopan manis para birokrat bila diwawancarai reporter TV.
“Saudari mengerti maksud saya?” Tanya lelaki itu tiba-tiba.
“Tidak!” refleks saya menyahuti pertanyaannya. Dan, jawaban saya yang refleks membuat alisnya terangkat tinggi. Lalu, entah disebabkan apa, senyumnya tiba-tiba mengembang, cukup manis, begitu otomatis jemarinya merogoh saku, mengeluarkan rokok,
“Saudari merokok?”
“Kadang…”
“Wanita modern biasanya merokok…,” gumamnya dengan hidung kembang kempis. “Saudari tentu mengerti. Saya ini jujur saja. Saya tahu, Saudari adalah seorang wanita terpelajar. Banyak yang suka tulisan Saudari. Mendengar nyanyian Saudari…Saya pun termasuk salah satu orang dari jutaan orang, yang merasa seperti kehilangan bila di pagi hari tidak menemukan tulisan Saudari!” lanjutnya. Kali ini mirip suara penyair di televisi swasta.
Lalu lelaki itu menghembuskan asap rokok ke cahaya lampu, memberikan kesempatan pada asap membentuk gores-gores abstrak, kadang mirip awan, kadang mirip binatang, mungkin juga kadang membentuk sebuah symbol.
“Sebagai seorang teman. Maaf! Sebagai penggemar! Saya ingin sekali tahu, apakah tindakan operasi pembuangan rahim yang saudari lakukan tanggal 22 Desember yang lalu itu dilatarbelakangi semangat lain?”
Maksudnya? Saya berusaha konsentrasi terhadap pertanyaan lelaki itu. Ketika saya mengerti arti pertanyaannya, saya betul-betul terpana. Jadi, ini alasannya. Sialan, spontan hati saya memaki. Jujurnya, semula saya mengira saya dibawa ke mari karena tulisan saya yang terbit minggu lalu di sebuah Koran, menjadi sebab saya dapat kehormatan diundang ke kamar ini.
Ternyata, perkiraan saya jauh meleset. Entah mengapa, rasa kecewa itu muncul. Ternyata, bukan karena pikiran-pikiran saya, ide-ide saya, bukan karena kritik-kritik saya. Tetapi karena peristiwa tanggal 22 Desember itu?!
“Apa maksudnya?”
Saya bertanya dengan kecewa juga karena bingung. “Rahim? Maksud Bapak operasi rahim setahun yang lalu itu?”
“Iya. Yang Saudari lakukan pada tanggal 22 Desember, jam 11.30 WITA, di rumahsakit swasta.” Lelaki itu melepas suaranya dengan tekanan, mendorong saya sedikit merasa gelisah.
“Saya tidak mengerti, Pak.”
“Saya paham bila saudari tidak mengerti. Begini, Saudari mungkin tidak menyadari atau mula-mula Saudari mengira, apa yang Saudari lakukan adalah sesuatu yang wajar. Hak Saudari. Asasi Saudari. Kamipun mengerti hal itu. Amat mengerti!” Lelaki itu tiba-tiba terbatuk lama. Dahinya berkerut- kerut.
“Kami hanya ingin tahu, apa latar belakang tindakan Saudari!” lanjutnya dan batuknya otomatis terhenti. Dan, keheningan tiba-tiba saja menyergap. Saya berkesempatan kembali menatap wajah lelaki itu.
“Di bawah cahaya lampu 25 watt, kulitnya menyilaukan saya. Membuat pelipis berdenyut sakit.
“Maksud Bapak … soal operasi rahim saya itu?” Mungkin kedengarannya bodoh, dengan menahan rasa sakit di pelipis, saya mengulang pertanyaan lelaki itu.
“Iya…” Suaranya kini mantap, matanya membentuk bintik hitam.
Melihat kemantapannya, saya kecewa. Di lubuk hati saya, saya sering berkhayal, suatu saat nanti, saya akan mengalami peristiwa semacam ini. Lalu orang-orang ribut di koran-koran, menjadi bahan pergunjingan. Menjadi gosip. Ramai. Sampai luluh lantak tanpa ujung pangkal. Ya, di lubuk hati saya yang terdalam, terlalu sering saya bayangkan diri dilukai berkali-kali kemudian darah menetes sebagai bukti bahwa saya telah memperjuangkan sesuatu dan membuat orang-orang terharu.
Akan tetapi, kini saya ditanyai soal rahim busuk. Rahim yang menasibkan hidup saya tidak lagi gagah mengakui diri sebagai perempuan.
“Sesungguhnya, saya heran..,” akhirnya, saya ungkapkan kekecewaan.
“Saya tahu, Saudari akan heran… karena baru sekarang kami menanyakannya. Tidak setelah Saudari keluar dari rumahsakit…” Lelaki itu menyela cepat. Matanya tajam, seolah mengerti geletar hati saya.
“Saya operasi karena rahim saya ditumbuhi daging. Itu logika medis. Aneh sekali bila hal itu menjadi daya tarik bagi Bapak?” dengan suara yang ditenang-tenangkan, saya mencoba menjelaskan sesuatu yang sebetulnya tidak memerlukan penjelasan, sesuatu yang bila makin jelas akan membuat saya kian kecewa.
Mendengar penjelasan saya, lelaki itu tersenyum lebar sekali. Kemudian di tengah-tengah senyumnya itu seekor cicak berteriak nyaring, gemanya memantulkan ke mana-mana.
“Sudahlah, seperti yang saya sampaikan dari awal. Marilah kita bekerjasama! Kita sudah sama-sama tahu. Saudari tahu, apa yang ingin kami tahu! Terus terang saja, kami sudah berpengalaman sejak tahun 1971!”
Saya berusaha tidak gemetar, tetapi lidah saya berkhianat, lidah saya bergetar. “Saya tidak mengerti. Soal operasi rahim, sejujurnya, bagi saya, itu peristiwa menyedihkan sekali.”
“Sedih? Maksudnya, Saudara melakukan hal itu dengan terpaksa?” Tanya lelaki itu dengan sorot mata yang membuat saya merasa seperti diserang flu.
“Tentu saya terpaksa. Andai boleh, tentu saya tidak akan melakukannya, Pak!” saya menyahutinya dengan pelan. Manalah ada perempuan yang suka rela rahimnya dibuang!
“Siapa yang memaksa Saudari?”
“Maksud Bapak?”
“Sudahlah, Saudari tidak usah takut. Kami ada di pihak Saudari. Kami merasa bersalah tidak bisa cepat menyelamatkan Saudari.”
“Maksud Bapak?” Pelipis saya terasa berdenyut keras.
“Siapa yang memaksa Saudari melakukan operasi itu?!”
“Tidak ada yang memaksa saya, Pak!”
“Saudari tadi katakan, Saudari terpaksa…”
“Katakanlah, siapa yang memaksa Saudari!”
Lelaki itu mengerutkan dahinya. Kilat kulit wajahnya memantul ke mana- mana. Saya tercekat. Isi otak saya bergerak cepat. Ada apa? Apa maunya lelaki ini? Saya buntu. Betul-betul tak paham. Tepatnya, saya mulai merasa meriang. Dan, detak jarum jam dinding di kamar itu, membuat saya tiba-tiba teringat kamar kontrakan, Ah, saya belum kunci jendela! Saya teringat nasi yang belum dihangati.
Saya mual dengan dengan gerak pikiran saya sendiri. Mengapa mereka ingin tahu soal operasi rahim saya. Mengapa?
“Indikator yang kami pelajari. Fakta yang kami kumpulkan. Telah menujukkan arah yang benar. Saudari tahu, gerakan membuang rahim ini telah menjadi pola gerakan teror baru, tujuannya mengganggu reformasi. Ini sudah menjadi bagian gerakan politik direkayasa oleh kekuatan luar! Ini sebabnya kami minta tolong pada Saudari. Agar kami tahu, siapa di balik semua ini?” Suara lelaki itu kini berdetam di kepala saya.
Aneh! Aneh betul bila dikaitkan ke hal-hal yang menurut saya sungguh-sungguh luar biasa. Memang, kalau dipaksa agar ada kaitannya, pasti saja ada kaitannya, kaitan aneh, misalnya. Apa rahim busuk pun bisa menjadi alasan untuk dicurigai telah terkait hal-hal yang yang luar biasa itu? Apakah tindakan penyelamatan nyawa (operasi rahim itu) yang sebetulnya wajar dan normal dapat secara ajaib dihayati sebagai bisul berbahaya mengancam kehidupan masyarakat umum semacam ledakan bom setiap minggu atau penimbunan sembako yang pernah ramai dibicarakan itu? Luar biasa. Sungguh luar biasa rangkaian imajinasi otak lelaki di hadapan saya ini.
Saya mulai membujuk pikiran untuk menerka-nerka. Apa sebetulnya yang telah bergerak di dalam pikiran lelaki yang duduk tegak di hadapan saya itu. Sebuah pengabdian, penyelamatan Negara atau suatu kebingungan akibat gajinya yang kecil(?). Atau dengan nakal pikiran saya bergerak, kekhawatiran lelaki itu benar adanya. Andai saja benar ada suatu gerakan penimbunan rahim. Para perempuan menimbunannya di suatu gudang, melakukan embargo terhadap jutaan sperma lelaki, semacam gerakan mogok hamil dan mogok melahirkan. Luar biasa! Kalau saja hal ini benar terjadi, saya dapat mengerti kecurigaannya terhadap operasi rahim saya itu.
Tetapi.
“Kami telah mendeteksi, ada kelompok yang menginginkan para perempuan tidak memiliki rahim, dengan tujuan membatalkan seluruh kesempatan kelahiran generasi baru! Kami telah pelajari hal ini. Sejak lama. Bertahun-tahun kami kumpulkan informasi. Kami godok. Kami analisa. Saudari tahu, apa argumen mereka?”
“Daripada melahirkan anak tetapi tidak dirawat dengan baik, tidak dilindungi oleh aturan yang baik, lebih baik rahim kami dibuang! Saudari tentu tahu hal itu, bukan?” Lelaki itu menyahuti pertanyaannya sendiri dengan penuh semangat, busa tipis memercik dari mulutnya yang hitam.
Astaga!
Saya benar-benar takjub. Andai saja saya punya pikiran semacam itu. Alangkah menakjubkannya. Semua perempuan membuang rahimnya! Klak ! Tidak ada kelahiran baru. Semua tua lalu mati! Klak ! Tidak perlu lagi gerutuan soal sembilan bahan pokok, tidak perlu lagi ini atau itu. karena hidup berakhir sudah. Bayangkan saja, mereka telah dijebak oleh imajinasi bahwa para perempuan akan membuang rahimnya, ada indikasi politik! Sebagai suatu ancaman. Mereka bahkan bertanya, “Siapa berdiri di balik ide kalian?”
Aneh. Mereka terus bicara politik, bicara oknum-oknum yang memiliki kemungkinan mmempengaruhi saya. Luar biasa sekali imajinasi mereka.
Akan tetapi pikiran jernih itu melintas tegas di kepala saya.Memotong lambungan pikiran saya. Saya menatap lelaki itu dan berusaha menata kata-kata, setenang dan sejelas mungkin.
“Sejujurnya, saya operasi rahim karena rahim saya dibuang lantaran ada tumor di dalamnya. Itu demi keselamatan nyawa saya, Pak. Sungguh, saya tidak mengerti yang Bapak pertanyakan kepada saya. Ini bukan persoalan aneh. Dari sudut kesehatan, ini seuatu yang lumrah, Pak!”
Lelaki itu tersenyum kecil. Menghela nafas. Matanya untuk pertama kali berkedip. Takjub saya dibuatnya. Dan, saat itulah dari jauh saya dengar detak-detak langkah mendekat. Tak lama kemudian pintu di belakang punggung saya terbuka. Angin mendesir. Tiga lelaki yang menjemput saya datang kembali. Tanpa bicara dengan isyarat tangan mengajak saya melangkah meninggalkan kamar itu. Meninggalkan rumah itu.
◊
PAGI ITU, saya memperhatikan kalender, kemudian saya perhatikan gerak jarum jam. Di luar sana terdengar suara gemuruh berisi jeritan dan tepuk tangan. Saya membuka jendela kamar, melihat keluar, di sana, terlihat spanduk-spanduk dikibarkan, bertuliskan: Selamatkan Rahim Perempuan, Demi Masa Depan Dunia!
Astaga.
Tiba-tiba perut saya terasa nyeri. Ketukan pintu itu terdengar lagi. Saya enggan membukanya. Saya merasa tiga orang lelaki mendekati kamar saya.
“Kami lihat apa akibat dari tindakanmu itu. Segera umumkan pada mereka, bahwa kamu tidak pernah membuang rahimmu. Katakan pada mereka, bahwa apa yang kamu lakukan itu bukan gerakan keprihatinan yang berkaitan dengan harga makanan yang mahal! Juga katakan, mereka tidak perlu khawatir, kelak generasi mendatang tidak akan terlahir bodoh dan kurang gizi. Katakan! Mereka tidak perlu membuang rahim mereka! Seperti yang sudah kamu lakukan!”
Perut saya menegang. Rasa sakit itu sungguh luar biasa. Membuat segalanya gelap gulita. Sayup saya dengar suara lelaki di kamar itu tengah berpidato! Suara lelaki dengan detak jam yang menusuk-nusuk jantung.
“Tenanglah Saudara-saudara, tenanglah! Saudari Nagari sebentar lagi akan siuman. Saya harap Saudara-saudara memberikan kesempatan kepada tim kami untuk melaksanakan tugas. Demi keselamatan Saudari Nagari.”
Saya berusaha membuka mata dengan paksa. Lampu itu saya kenal. Jumlah cahayanya 25 watt. Jam dinding itu saya kenal. Cecak itu pun saya ingat. Saya pandang sebuah wajah. Wajah itu saya kenal.
Saya paham. Tidak perlu dijelaskan. Seperti biasa, seperti berbagai kejadian yang saya dengar dari teman-teman. Zaman ini tidak memerlukan penjelasan, tidak memerlukan kejelasan. Sebab penjelasan justru akan menebalkan kekaburan.
Lalu sayup suara aneh terdengar…Nama Nagari. Umur tigapuluh. Pekerjaan serabutan. Jenis kelamin wanita. Nomor kamar 2212. Catatan: korban kriminal. Rahimnya dikoyak dengan pisau belati oleh gerakan anti kelahiran generasi baru.
Saya tercengang. Rasanya, baru kemarin sore saya duduk di rumah kontrakan. Tidak pernah ada terjadi kejadian yang luar biasa. Benarkah rahim saya dikoyak dengan pisau belati? Aneh sekali! Untuk apa dikatakan seperti itu? Toh, semua teman saya tahu, rahim saya dibuang karena memang ada tumor di dalamnya.
Phuah. Kepada siapakah saya harus menanyakan, apa sebab riwayat rahim busuk itu menjadi demikian hebat kisahnya. Televisi, koran dan radio ramai-ramai mengupasnya. Komentator baru soal politik rahim lahir beratus-ratus dalam seminggu.
Dari dalam kamar ini. Saya mendengar sorak-sorai bercampur jeritan- jeritan. Saya pejamkan mata sambil mengingat-ingat, barangkali, pernah saya melihat rahim busuk itu. Tetapi saya gagal membayangkannya. Barangkali, tidak akan pernah saya tahu seperti apa wajah rahim busuk itu. Padahal, dia ada dalam tubuh saya. Saya raba perut. Terasa kosong dan tiba-tiba saja saya merasa teramat kehilangan.
Saya hidupkan TV, isi beritanya: Antrean panjang terjadi di seluruh rumahsakit besar di kota-kota besar. Dengan hati kecut saya menanyakan: “Mengapa mereka antre di situ?” Mereka tak menjawab. Mereka nampak khusuk. Seperti menanti namanya dipanggil saat menanti giliran memasuki kamar operasi.
Nagari! Usia tigapuluh tahun. Di TV saya lihat wajah saya! Begitu aneh. Teramat aneh. ::
Januari 1998
Pada tahun 2000 cerpen ini dimuat KOMPAS dan terpilih sebagai satu dari sepuluh cerpen terbaik pilihan KOMPAS tahun itu.
Sumber > website Cok Sawitri