Binjai dan Lamongan, Percontohan Perlindungan Perempuan Lansia

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia Meutia Hatta Swasono pada pertengahan November 2008 meresmikan Kota Binjai, yang terletak 22 km dari Medan, Sumatera Utara, sebagai daerah penerapan model perlindungan perempuan lanjut usia (lansia) se-Indonesia. Pertimbangan untuk menjadikan Kota Binjai sebagai daerah penerapan model perlindungan perempuan lansia diperkuat oleh kenyataan bahwa Binjai memiliki organisasi perempuan lansia, yakni Lembaga Pemberdayaan Perempuan Lanjut Usia (LPPLU), yang sudah berjalan mapan selama puluhan tahun.

”Daerah yang dijadikan daerah penerapan model perlindungan perempuan lansia itu hanya dua di Indonesia, yakni Lamongan [Jawa Timur – red] dan Binjai,” ujarnya saat menyampaikan sambutan dalam kunjungan kerja ”Penerapan Model Perlindungan Perempuan Lanjut Usia” di Aula Pemerintah Kota (Pemko) Binjai dalam kunjungan bulan November 2008.

Untuk mempertahankan status kedua daerah itu sebagai model perlindungan perempuan lansia, dibutuhkan konsistensi dan kerjasama dari berbagai pihak. “Ini terutama dari pihak pemerintah daerah (pemda) melalui pengalokasian anggaran buat lansia di APBD,” ujar Meutia.

”Saya lihat memang lansia di Binjai cukup mandiri. Apalagi pemdanya mendorong program untuk para lansia. Kami berharap hal ini dapat ditiru kabupaten dan kota lain di Sumut dengan membentuk organisasi lansia supaya lansia dapat menikmati sisa-sisa umurnya dengan berarti,” kata Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Provinsi Sumatera Utara Nurlisa Ginting.

2020, Penduduk Lansia 28,8 Juta

Dalam kesempatan tersebut, Meutia mengatakan bahwa jumlah penduduk lansia di Indonesia dari tahun ke tahun diproyeksikan terus meningkat. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2000, jumlah lansia meningkat tiga kali lipat menjadi 14,4 juta dari 1971 sebanyak 5,3 juta.

Sementara jumlah lansia pada 2020 diproyeksikan menjadi 28,8 juta, atau 11,34% dari jumlah penduduk. Dari jumlah lansia yang terus meningkat itu, lansia perempuan lebih mendominasi yakni 52% dibandingkan lansia laki-laki sebanyak 48%. Hal ini disebabkan perempuan memiliki usia harapan hidup lebih lama dari laki-laki.

Meningkatnya jumlah penduduk lansia dari tahun ke tahun disebabkan menurunnya angka fertilitas dan mortalitas yang diiringi meningkatnya usia harapan hidup.

”Meningkatnya jumlah lansia adalah hal yang wajar, sebab teknologi kedokteran sudah semakin maju, obatobatan pun sudah semakin maju. Dengan begitu, usia lansia semakin panjang. Kalau dulu usia harapan hidup 60 tahun, sekarang lebih dari 60 tahun, bahkan usia harapan hidup perempuan lebih lama. Ini yang membuat umur lansia perempuan lebih panjang,” papar putri Bung Hatta ini.

Untuk itu, dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk lansia, dibutuhkan perhatian dari semua pihak dalam mengantisipasi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan penuaan penduduk. Sebab, penuaan penduduk membawa berbagai implikasi baik dari aspek sosial, ekonomi, hukum, politik dan kesehatan.

Tak hanya itu, lanjut Meutia, tantangan lain yang dihadapi lansia adalah mulai terkikisnya hubungan antargenerasi. Ini terutama lansia perempuan yang merupakan kelompok masyarakat yang paling rentan untuk terabaikan dan tersisihkan karena mengalami multidiskriminasi. ”Banyak lansia yang harus tinggal sendiri karena anak-anaknya harus mencari nafkah dan tinggal di tempat lain. Ini tentu akan berdampak bagi para lansia dari sisi ekonomi, sosial, maupun psikologis terutama lansia perempuan,” ujarnya.

Berlandaskan UU No.13 Tahun 1993

Pemberdayaan perempuan lanjut usia dan penyandang cacat adalah penting karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara baik secara nasional dan internasional. Selain itu Penduduk Lanjut Usia (Lansia) dan Penyandang Cacat telah memiliki landasan hukum yang kuat yaitu UU-RI Nomor 13 tahun 1998 pasal 25 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia dan UU-RI Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat serta Keppres Nomor 52 tahun 2004 tentang Komite Nasional Lanjut Usia.

Ketiga kebijakan tersebut menjadi komitmen negara untuk diimplementasikan di tingkat pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota sesuai dengan Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Di samping itu masih ada komitmen-komitmen lain yang perlu menjadi rujukan dan landasan di dalam mengantisipasi persoalan lanjut usia dan penyandang cacat, antara lain :

  • Komitmen global sesuai dengan Second World Assembly on Ageing di Madrid tahun 2002 yang merujuk kepada keikutsertaan lanjut usia dalam pembangunan, akses universal dan setara bagi layanan kesehatan secara komprehensif yaitu mencakup promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, kemudian hasil Konferensi Kependudukan ICPD tahun 1994 dan Konferensi Dunia ke-4 tentang Wanita tahun 1995, menyepakati adanya rencana tindak dalam perlindungan lanjut usia bidang kesehatan;
  • Komitmen regional sesuai dengan hasil Seminar di Shanghai pada tahun 2002 tentang “ Strategi Implementation” bahwa lanjut usia bukanlah merupakan beban, melainkan suatu keberhasilan;
  • Komitmen BIWAKO Millenium Framework di Jepang tahun 2002 yang merupakan agenda aksi bagi Penyandang Cacat Asia Pasifik dan menghasilkan 7 agenda aksi dimana aksi kedua berbunyi Wanita Penyandang Cacat.

Latar belakang program pemerintah dalam menyelenggarakan perlindungan perempuan lansia itu pernah disampaikan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta Swasono dalam Pertemuan Penyusunan Kebijakan Pemberdayaan Perempuan Lanjut Usia dan Penyandang Cacat Produktif pada 24 Maret 2005 di Jakarta.

Pertemuan tersebut adalah tindaklanjut pengimplementasian Rencana Aksi Nasional (RAN) tahun 2003-2008 untuk Kesejahteraan Lanjut Usia dan Rencana Aksi Nasional (RAN) tahun 2004-2013 untuk Penyandang Cacat sebagaimana ditetapkan oleh Departemen Sosial RI. Kementerian Pemberdayaan Perempuan terlibat dalam perumusan kebijakan, khususnya pemberdayaan perempuan lanjut usia dan penyandang cacat.

Strategi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dalam mewujudkan kebijakan adalah melakukan pendekatan yang terpadu berbasis masyarakat melalui kombinasi dukungan formal dan informal yang mencakup unsur-unsur keluarga, masyarakat, pemerintah, dunia usaha dan lanjut usia serta penyandang cacat itu sendiri untuk mengantisipasi persoalan-persoalan yang dihadapi.

Bagian dari langkah antisipatif adalah memberdayakan perempuan lanjut usia dan penyandang cacat yang masih potensial dan produktif, yakni yang bercirikan bertahannya derajat kesehatan dengan disertai kemampuan, pengalaman dan kearifan yang dimilikinya. Ini semua perlu perlu diberdayakan untuk kepentingan dirinya, keluarganya bahkan masyarakat di sekitarnya. Tanpa langkah antisipastif, potensi perempuan lansia akan terabaikan dan mengakibatkan suatu pemborosan sumberdaya manusia. Agar seluruh potensi dan sumberdaya manusia yang ada menjadi efektif bagi pembangunan bangsa, maka perempuan lanjut usia dan perempuan penyandang cacat yang mampu produktif harus memperoleh peluang melalui pemberdayaan untuk menjadi warga yang produktif.

Dengarkan Lagu Lanjut Usia dari www.gerbanglansia.com >> LANSIA SONG

sumber naskah >> www.binjai.go.id + www.menegpp.go.id
sumber foto >> Lions Club Medan Polonia 2006 + rathikumara.blogspot.com + ilyasafsoh.files.wordpress.com


Leave a Reply