Ia Ceritakan Kembali Wayang Tionghoa Jawa Yang Punah
[SUARABARU] ~ Kalau ada perempuan yang paling semangat menyelidiki budaya akulturasi wayang Tionghoa Jawa, Dwi Woro R. Mastuti-lah orangnya. Minatnya untuk memperkenalkan wayang ini pada khalayak umum telah memaksanya menempuh separuh bumi ini. Wayang langka itu hanya tersisa dua set di seluruh dunia. Ironisnya, salah satu pemiliknya bukan orang Indonesia.
Woro memang jatuh cinta pada budaya Jawa. Walaupun dibesarkan dari keluarga Jawa, ia merasa perlu meneliti lebih dalam tentang naskah-naskah Jawa kuno. Hatinya tergugah saat membaca hasil penelitian warga negara Amerika Serikat tentang naskah kuno nusantara. “Saya terkejut. Kok orang asing yang justru menjadi ahli budaya kita,” katanya.
Inilah yang membuatnya meninggalkan jurusan ilmu politik di Universitas Jayabaya. Ia pun hijrah ke jurusan sastra Jawa Universitas Indonesia. Walaupun menyadari bahwa jurusan yang ia pilih bukan jurusan favorit dan jauh dari hingar bingar materi, Woro tidak peduli. Baginya, negara bisa besar bila warganya menghargai sejarah bangsanya. Hal ini pula yang membawanya bertemu dengan naskah-naskah kuno Tionghoa Jawa.
Berawal dari wangsit di pagi hari tahun 1999, doa Woro agar studinya bisa menyumbangkan hal yang positif bagi persatuan bangsa ini, terjawab. Dengan semangat, ia mulai mencari naskah kuno Tionghoa Jawa. Betapa terkejutnya Woro, ketika ternyata ada 19 buah naskah beraksara Jawa kuno tentang Tionghoa Jawa, tersimpan tak tersentuh di perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UI. Makin ditelusuri, Woro menemukan makin banyak naskah yang terbit antara tahun 1875-1903. Sebagian besar di antaranya berada di perpustakaan luar negeri, seperti Leiden-Belanda dan Berlin.
Tak lama, hasil perdana dari riset Woro pun terbit. Buku Kempakan Cariyos Tionghwa adalah hasil terjemahan beberapa naskah dari aksara Jawa kuno ke aksara Latin. Pada tahun 2001 ketika sedang mencari data di Leiden, Woro menemukan sebuah naskah Jawa kuno yang menceritakan tentang wayang Tionghoa Jawa. Bagai mendapat tuntunan alam, tak lama kemudian, di sebuah pasar loak, ia menemukan buku yang menulis tentang wayang kulit Tionghoa Jawa. “Saya penasaran, kok bisa ada ya wayang kulit model ini, saya lalu riset. Ternyata betul-betul unik. Sebuah karya wayang kulit dengan tokoh-tokoh cerita Tionghoa, berpakaian akulturasi Tionghoa-Jawa dan naskahnya ditulis dalam aksara Jawa kuno. Bahkan ada binatang-binatang yang ada di legenda-legenda Tiongkok, seperti burung Hong,” paparnya penuh semangat. Selain unik, wayang ini juga langka. Apalagi pembuat sekaligus dalangnya, Gan Thwan Sing, sudah meninggal di tahun 1966, tanpa penerus. Sehingga bisa dikatakan seni wayang ini punah sudah.
Dari hasil riset, Woro memperoleh data bahwa wayang ini hanya tersisa dua set di dunia. Satu set berada di Museum Sonobudoyo- Jogyakarta, berjumlah 150 buah utuh badan dan kepala, dan 133 kepala saja. Sedangkan satu set lagi berada dan dimiliki seseorang berkebangsaan Jerman, berjumlah 345 buah utuh dan dalam kondisi terawat baik. “Yang ada di Jerman sudah dua kali berpindah kepemilikan. Saat ini dimiliki Walter Angst yang sangat peduli dan mendalami wayang Nusantara,” katanya.
Woro pun segera mendeskripsikan dan mendokumentasikan wayang-wayang itu, satu per satu, lengkap dengan ukuran, bahan, karakter dan ciri masing-masing wayang. “Supaya tidak hilang datanya.” Woro pun makin jatuh cinta dengan wayang Tionghoa Jawa dan naskah-naskah kunonya. Ia mencari dan mencari lagi. Ternyata ia menemukan makin banyak. “Saya baru saja menghabiskan lima belas juta rupiah hanya untuk membuat copy dari naskah-naskah di Berlin, dan sepuluh juta untuk membeli dua naskah kuno dari orang Surabaya,” katanya sambil menarik nafas panjang. Untunglah ia dibantu beberapa penyandang dana.
Melestarikan warisan budaya memang tidak mudah. Sudah mendapatkan pun, sering terbentur masalah biaya untuk membeli, memfotokopi dan menterjemahkannya. Maklum tidak banyak orang yang bisa membaca aksara Jawa kuno di masa sekarang. Woro juga mengakui tak banyak orang yang peduli dengan masalah ini, sehingga sulit mencari donor untuk riset-risetnya. Tapi ia tak patah semangat. Baginya, budaya adalah faktor yang sangat kuat sebagai perekat bangsa. Ia pun membuka jurusan mata kuliah khusus budaya Tionghoa Jawa di UI tahun lalu.
“Saya ingin generasi muda mengetahui bahwa akulturasi budaya yang begitu mendalam dan indah pernah terjadi di masa lampau, tanpa hambatan apa pun. Ini yang harus kita contoh di masa kini.”
sumber >> “Pengemban Wangsit Wayang” dimuat di Majalah SUARA BARU Edisi 20 Maret-April 2008