Surat Kepada Sirikit Syah Soal Kekeliruan Memahami RUU Pornografi
Ketika perbudakan di benua Amerika dan Eropa mengalami protes bertubi-tubi, lagu Amazing Grace dan novel Uncle Tom’s Cabin karya Harriet Beecher Stowe berkumandang di mana-mana. Para pedagang budak pun mengeluh: tidak ada keadilan bagi kita – suara publik telah tercemar oleh kepopuleran para anti perbudakan. Bahkan mereka sempat menuduh pemerintah tidak adil dan rasis karena telah membela orang kulit hitam. Rasa ketidakadilan inilah yang akhirnya menjadi salah satu pelopor terbentuknya Ku Klux Klan di Pulaski, Tennessee, AS, pada bulan Mei 1866.
Tentu saja pendukung RUU-APP tidak sama dengan pedagang budak atau Ku Klux Klan. Namun, yang saya ingin utarakan adalah betapa bahayanya terkadang tuduhan ketidakadilan, tanpa disertai keberpihakan pada minoritas. Inilah kesalahan artikel anda “Kekeliruan Memahami RUU Pornografi” ketika bertanya: “Di mana suara mereka yang pro-RUU? Apakah memang tak ada yang pro; atau ada tapi kurang pandai mengekspresikan pendapat; atau media dengan sengaja tidak memberi mereka kesempatan?” (Jawa Pos, 24 Oktober 2008).
Karena bukan kekalahan suaralah yang seharusnya menjadi perhatian, namun bagaimana peraturan itu sendiri telah menjadi bentuk represi yang patut ditentang. Bila RUU ini disahkan, para gay, lesbian dan transeksual yang sudah terkucil akan menjadi semakin dikambinghitamkan. Lalu, anda menulis bahwa argumen anti-RUU ini “tidak valid lagi dengan perubahan draf RUU 2008 dibanding draf 2006”, karena telah ada perlindungan pada masyarakat dan kesenian tradisional dan penghargaan terhadap multikulturalisme.
Namun, Sirikit, inti dari RUU APP ini sudah begitu membatasi gerakan kita sebagai manusia. Karena dalam RUU ini, pornografi didefinisikan sebagai materi yang dibuat oleh manusia yang “dapat membangkitkan hasrat seksual”. Sungguh, Sirikit, saya bersyukur bahwa orang tua saya mempunyai gairah seks. Jika tidak, saya tidak akan ‘nongol’. Kedua manusia ini (bapak dan ibu saya) berhasil membangkitkan hasrat seksual masing-masing. Dan inilah kekacauan RUU APP ini – dalam satu pihak ia menyatakan akan melindungi, namun isi RUU APP itu sendiri malah penuh dengan penindasan.
Gairah seksual ada di mana-mana, Sirikit. Saat saya menulis dan memandang komputer pun, imajinasi saya bisa saja melayang ke mana-mana. Bahkan ke tubuh suami saya, kepada hasrat saya untuk bersetubuh dengannya. Saya tidak butuh gambar-gambar porno ataupun video merangsang. Imajinasi saya sudah cukup kuat untuk hal ini. Bila suami saya ada di samping saya dan ia juga menginginkannya, betapa indahnya hal ini. Kalau dia tak ada di samping saya, tentu saja saya tidak lalu memperkosa ayam tetangga.
Lalu apa salahnya imajinasi ini? Sama sekali tidak ada salahnya, yang menjadi masalah adalah bila seseorang lalu memaksa orang lain untuk meladeni hasratnya. Bukan gairah seks itu yang salah, namun pemaksaan dan pelecehanlah yang harus ditanggulangi. Rasa penghargaan pada manusia dan mahluk lainlah yang diperlukan.
Pada saat ini hukum harus bertindak: melindungi yang lemah. Karena dalam kebebasan gerak, yang kuat dapat lebih bebas dan mempunyai kesempatan untuk merajalela. Hukum dibuat tidak untuk membatasi atau menekan, namun untuk melindungi. Bila hukum dibuat hanya untuk menindas dan membatasi, ia menjadi sama dengan kekuatan yang ingin merajalela.Dan inilah yang terjadi pada beberapa daerah yang telah menerapkan hukum pornografi yang membabi buta: penangkapan Lilies Lindawati di Tangerang yang akhirnya terbukti tidak bersalah atau penggerebekan pasangan-pasangan yang tak melakukan kejahatan apa pun. Lilies akhirnya dibebaskan tanpa kompensasi, dan pasangan yang berdomisili di Malang (yang namanya tak akan saya sebutkan) diharuskan membayar denda hanya karena mereka duduk berdua di luar pada malam hari.
Peraturan seperti inilah yang harus dihapus. Dan hukum tidak dapat mengontrol imajinasi. Karena, Sirikit, sesuatu yang ditutupi itu justru dapat membangkitkan rasa ingin-tahu yang berlebih. Karena itulah, para penari striptease itu biasanya tidak langsung membuka blak baju mereka. Tapi, permainan membuka tutuplah yang membuat imajinasi penonton begitu subur. Pernahkan anda mendengar beberapa komentar yang menyatakan bahwa tubuh yang terbuka tak lagi mengandung misteri? Islam sebagai sasaran bulan-bulanan dalam hal ini, Sirikit?
Mengapa anda harus merasa demikian? Justru beberapa teman saya yang menentang UU APP ini adalah orang Islam. Nama-nama seperti Dewi Candraningrum, Guntur Mohamad Romli dan Musdah Mulia hanyalah sebagian yang mampu menganalisa adanya pertentangan antara UU-APP dan Islam. Bahkan, salah satu feminis yang saya kagumi adalah Irshad Manji, seorang Islam yang taat beribadah.
Jadi, tidak ada pertentangan antara Islam dengan gerakan anti UU-APP ini, Sirikit, bila anda mau menganalisa Islam dengan lebih kritis. Dan saya setuju dengan pernyataan anda bahwa “Kita adalah masyarakat demokratis yang hidup di negara hukum.” Lalu, bukankah hukum demokratis itu diwujudkan dengan suara terbanyak? Bila begitu banyak suara yang tak menginginkan UU APP, bukankah sudah seharusnya hukum negara demokratis itu melaksanakan amanat rakyat, bukan malah mengesyahkannya.
Soe Tjen Marching
staff pengajar di SOAS – University of London
salah satu pendiri sekolah TK, SD & SMP Mandala di Surabaya
naskah kiriman >> Soe Tjen Marching, 30 Oktober 2008