Dorothea Rosa Herliany: Puisi Itu Pukulan Bersarung Tinju Beludru
[SUARAMERDEKA] ~ Jawa Tengah menghadirkan sosok penyair Dorothea Rosa Herliany yang mengagumkan. Sebab, selain buku puisinya, Santa Rosa, memenangi Khatulistiwa Literary Award 2005-2006, jauh sebelumnya kumpulan puisinya yang lain, Kill the Radio, masuk sebagai lima besar penghargaan paling bergengsi dalam dunia kesusastraan di Indonesia pada 2001. Setelah itu, Pusat Bahasa juga memilih dia sebagai pengarang terbaik 2003. Setelah itu, pada akhir 2004, Dorothea menerima “anugerah seni” dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI.
Apa makna penghargaan-penghargaan itu bagi perempuan yang pada 1995 pernah mendapatkan Anugerah Seni dari PWI Jawa Tengah ini?
Berikut petikan perbincangan Suara Merdeka dengan Dorothea Rosa Herliany di Magelang tidak lama setelah ia menerima Khatulistiwa Literary Award 2005-2006.
Apa makna Khatulistiwa Literary Award bagi dunia gagasan Anda?
Ini adalah semacam pengakuan dari banyak orang terhadap puisi-puisi saya. Ini berarti puisi-puisi saya dinikmati dan dipahami oleh banyak orang. Tentu sangat menggembirakan karena selama ini puisi dianggap terpencil, jauh, dan berada di awang-awang. Ya, dengan penghargaan ini, saya telah bisa membuktikan betapa puisi sebenarnya adalah sesuatu yang sangat dekat dan peduli pada masyarakat dan kehidupan. Puisi, jika saja mereka tahu, sesungguhnya hal yang pasti membicarakan sesuatu yang ada di masyarakat.
Apa sesungguhnya gagasan-gagasan saya? Barangkali memang sesuatu yang sangat abstrak. Ya, saya memang selalu tergugah atau gelisah oleh hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah kemanusiaan. Karena itu, yang saya tulis adalah kesedihan saya melihat betapa dari waktu ke waktu masyarakat lebih tidak memedulikan dunia ruh, dunia yang lebih dalam pada kehidupan. Manusia hanya mengejar sesuatu yang fisikal, permukaan, kulit, atau gemebyar di luar. Kita tidak lagi ngopeni sesuatu yang lebih berada “di dalam”. Perjuangan manusia untuk menjadi manusia yang lebih baik kemudian tidak dipedulikan lagi. Hal-hal yang bersifat keduniawian memang diperlukan, tetapi jika ia sudah menjadi tujuan, manusia akan hidup dalam dunia yang sangat menyedihkan. Jadi, sekali lagi penghargaan ini kian membuktikan gagasan-gagasan saya tentang hidup yang lebih baik dibaca orang.
Tentu tidak. Kemenangan saya ini juga kemenangan “dunia tafsir”. Setiap kali menulis puisi saya senantiasa menafsirkan nilai-nilai dalam masyarakat dengan cara baru. Saya selalu bertanya, “Apakah nilai ini sudah benar?” Saya juga bertanya, “Apakah sesuatu yang sudah dianggap benar itu tidak bisa diberi penafsiran baru?” Ya, menjadi penafsir segala sesuatu saya kira merupakan tugas utama penyair. Saya tidak ingin sesuatu itu diposisikan sebagai hal yang mutlak. Saya tidak ingin segala hal menjadi dogma atau nilai yang dimutlakkan. Hidup harus ditafsir ulang secara terus-menerus.
Anda ternyata juga melawan tafsir tunggal terhadap berbagai hal yang dijejalkan oleh negara atau agama? Dalam bentuk apa perlawanan Anda?
Aduh! Ini masalah yang sangat sensitif. Saya misalnya pernah menggugat mitos-mitos dalam dunia perkawinan. Dalam dunia perkawinan, selalu ada kewajiban “menikah itu untuk setia”. Dalam kenyataan, komitmen semacam itu, hanya berada di permukaan, tidak berada di hati. Karena itu, ketika saya menulis: ketika menikahimu tak kusebut keinginan untuk setia, banyak orang kaget. Mereka shock. Saya kira puisi memang harus seperti itu. Tugas puisi harus memberi kejutan. Kejutan yang lembut. Puisi itu harus menonjok. Puisi itu harus seperti tinju dengan sarung yang lembut. Jadi, dalam berpuisi dan mengkritik nilai-nilai yang sudah mapan atau dimutlakkan, saya memang memukul dengan lembut. Puisi itu pukulan bersarung tinju beludru.
Ada juga contoh lain. Saya pernah menulis puisi bertajuk “Elegi Sinta”. Dalam puisi itu saya membuat tafsiran kembali terhadap cerita Rama-Sinta. dalam versi lama Rama digambarkan sebagai sosok yang suci dan tak pernah salah. Masyarakat Jawa, kita tahu, sangat memihak kepada Rama. Sebaliknya Sinta digambarkan sosok lemah yang membutuhkan perlindungan Rama saat hendak “diperkosa” oleh Rahwana. Ia, pendek kata, berada di bawah tekanan Rama, karena sebelum membakar Sinta, lelaki itu bilang, “Kalau kamu setia akan begini, kalau tidak setia akan begitu”. Ini membuat posisi Sinta menjadi sosok yang terpinggirkan. Dalam puisi saya, saya menghadirkan Sinta sebagai sosok yang kuat menempatkan Rama sebagai sosok peragu. Saya lebih menempatkan Sinta sebagai tokoh yang keras hati dan mampu berjuang.
Di negara kita, hal-hal semacam itu masih dipandang dengan sebelah mata. Negara memang sedikit peduli. Akan tetapi dalam keseharian negara belum secara ikhlas menerima perempuan sebagai sosok yang berpikiran lebih hebat dan berposisi lebih kuat. Ketika Megawati mau jadi presiden masih saja terjadi pro-kontra. Ini menunjukkan negara masih memihak laki-laki. Dengan berkata semacam ini, saya tidak ingin dianggap membela perempuan. Yang, saya lakukan saya membela manusia yang kebetulan berjenis kelamin perempuan.
Saya juga tak sepakat pada cara-cara mutlak-mutlakan memperjuangkan keyakinan tetapi dengan menghancurkan kemanusiaan dan manusia lain. Saya tak habis mengerti kok ada orang-orang yang merasa lebih benar daripada Tuhan. Lebih parah lagi mereka menyatakan tindakan-tindakan yang dilakukan itu dipersembahkan kepada Tuhan. Kemutlakan semacam ini harus ditentang. Saya punya harapan puisi atau sastralah yang bisa menyentuh dan mengingatkan betapa kemanusiaan kita memang terkikis.
Oke… tapi para pengamat kerap menyebut Anda sebagai perempuan yang menggunakan diksi laki-laki untuk mengungkapkan gagasan. Apakah ini tak bertentangan dengan keinginan Anda sebagai manusia yang ingin memperbaiki kualitas kemanusiaan siapa pun tanpa mempersoalkan jenis kelamin?
Saya ingin menjawab pertanyaan ini dengan mengambil metafor dari dunia pertanian. Jika hendak bertani, tentu kita butuh cangkul. Cangkul apa pun. Sebagaimana petani, saat menulis puisi saya membutuhkan berbagai diksi. Diksi apa pun. Tak peduli diksi laki-laki atau perempuan. Diksi yang bergunalah yang saya pakai. Kalau diksi-diksi yang menonjok dianggap sebagai diksi laki-laki, itu kesalahan tafsir laki-laki terhadap puisi-puisi saya. Yang saya inginkan sebenarnya sederhana saja. Saya ingin tujuan saya tercapai.
Nah, kalau begitu, Anda sebenarnya lebih ingin disebut sebagai feminis atau humanis sih?
Humanis! Saya kadang-kadang keberatan jika disebut sebagai feminis. Meskipun demikian, orang selalu bilang, “Kamu menulis tentang perempuan. Itu berarti kamu feminis!”. Terus saja saya menolak anggapan itu. Yang saya perjuangkan bukan persoalan keperempuanan, tetapi lebih kepada kemanusiaan. Laki-laki juga perlu ditolong jika dia lemah. Jadi saya ini lebih baik disebut sebagai pejuang humanisme, bukan feminisme.
Jika bisa distrukturkan, apa saja sih dunia gagasan Anda?
Saya berharap manusia menemukan kembali sisi baik kemanusiaannya. Ini suatu keinginan yang sedehana, tetapi hasilnya masih sayup-sayup.
Anda melihat kemanusiaan kita kian terkikis Lalu dengan cara apa Anda mewartakan kepada publik bahwa situasi kemanusiaan kita berada dalam situasi yang membahayakan?
Barangkali satu-satunya cara penyair untuk bisa “mengingatkan” mereka adalah dengan menulis. Dengan tulisan itu orang digiring memiliki ruang dan waktu untuk berpikir. Dengan tulisan-tulisan itulah, saya mencoba membuat puisi sebagai sesuatu yang menyentuh. Tentu dengan berbuat semacam itu, saya dan penyair lain tidak harus dianggap sebagai satu-satunya sosok yang mengansumsikan diri sebagai pengingat zaman.
O, cukupkah Anda mengubah dunia dengan puisi?
Tentu saja tidak. Dalam kehidupan kita itu banyak hal yang harus dipecahkan dengan hal-hal lain di luar puisi. Dunia indah itu tidak bisa dicapai hanya dengan puisi. Karena itu, saya juga melakukan berbagai tindakan lain. Saya bergerak menjadi penerbit dan melakukan gerakan sosial lain. Termasuk melakukan hal-hal kecil yang saya lakukan di rumah. Perjuangan saya bukan berupa tindakan-tindakan besar. Tindakan-tindakan besar baru terlihat justru ketika kita juga melakukan tindakan-tindakan kecil.
Anda mendidik anak Anda juga dengan cara melakukan tindakan-tindakan kecil yang bermakna?
Tentu. Saya selalu memberi pengertian: sekolah bukan satu-satunya tiket kita untuk menjadi manusia yang baik. Tujuan kita tidak untuk menjadi manusia sukses, tetapi manusia yang baik. Untuk menjadi manusia sukses harus belajar matian-matian menjadi ranking satu di sekolah. Ukuran keberhasilan manusia itu tidak harus menjadi dokter, insinyur, arsitektur, tentara, atau yang lain-lain.
Anda juga bergerak di dunia bacaan. Anda menjadi penerbit dan melakukan gerakan sosial yang mengajari publik untuk hidup dalam budaya baca. Inikah yang juga Anda sebut sebagai tindakan kecil yang penuh makna?
Ya. Membaca dan menulis itu sangat dekat dengan dunia pikir dan rasa. Jika orang tak hidup dalam dunia pikir dan rasa, mereka harus didekati dengan dunia baca dan tulis. Karena kita masih juga hidup dalam budaya lisan, maka perjuangan membawa orang ke dunia baca-tulis-rasa-pikir, masih harus dilakukan secara intens. Itulah yang saya lakukan agar kita semua berada dalam peradaban yang kian maju.
Kini kecenderungan buku Anda muncul dalam dua bahasa. Mengapa Anda tak menulis langsung dalam bahasa Inggris?
Saya punya kepekaan terhadap nuansa bahasa. Saya tahu dengan menulis dalam bahasa Indonesia akan lebih in dan tepat mengutarakan gagasan-gagasan saya. Ada sesuatu yang tertinggal kalau saya langsung menulis dalam bahasa Inggris. Tujuan saya menerbitkan puisi dalam dua bahasa lebih dipicu oleh pertimbangan pasar. Selain itu, saya ingin gagasan-gagasan universal tentang kemanusiaan saya lebih terdistribusi ke masyarakat yang lebih luas tanpa dibatasi oleh bahasa.
Apa sih perjuangan terberat Anda saat mendistribusikan gagasan?
Yang paling berat adalah saat berproses mewujudkan gagasan. Saya selalu berpikir bagaimana agar gagasan-gagasan saya itu mudah diterima tetapi tidak wantah dan dalam balutan keindahan. Ya, buat apa kita menulis jika gagasan-gagasan itu tak sampai di hati orang?
Naskah asli >> Triyanto Triwikromo-35/SuaraMerdeka/2006