22 Desember Hari Kebangkitan Kita Bukan Hari Ibu
http://riekepitaloka.blogdetik.com/
Sebut saja, Pariyem sang tokoh dalam prosa lirik Linus Suryadi AG, Nyai Ontosoroh tokoh novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer, Marieneti Dianwidhi Sang tokoh novel Burung-burung Rantau karya YB Mangunwijaya, dan Cok, sang tokoh dalam novel Saman karya Ayu Utami. Empat tokoh perempuan Indonesia yang muncul dalam karya sastra, dengan latar belakang, zaman, dan semangat perempuan yang berbeda, kesemuanya menunjukkan wanita super –sanggup memberi warna pada kehidupan. Lalu bagaimana dengan perempuan Indonesia sesungguhnya (non-fiksi)?
Sebut saja Dewi Sartika, perempuan kelahiran Bandung, 4 Desember 1884 – wafat di Tasikmalaya, 11 September 1947 dalam umur 62 tahun. Dewi Sartika adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan –jauh sebelum RA Kartini, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966. Atau Ibu Inggit, istri setia mendiang Soekarno yang saat ini tengah hangat diusulkan sebagai pahlawan nasional. Lantas, bagaimana dengan kiprah perempuan Indonesia lainnya?
Memaknai Ulang Momentum 22 Desember
Kongres Perempuan Indonesia pertama menghasilkan keputusan dibentuknya badan pemufakatan organisasi-organisasi perempuan, bernama: Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia. Tujuan serikat ini adalah untuk memberikan berbagai informasi dan sebagai forum komunikasi antar organisasi perempuan. Kongres ini pun menghasilkan tiga tuntutan kepada pemerintah kolonial masa itu, berupa: 1) Penambahan sekolah untuk anak-anak perempuan; 2) Syarat bagi sebuah pernikahan, diberikannya keterangan taklik (janji dan syarat-syarat perceraian); 3) Peraturan yang mengharuskan diberikannya tunjangan kepada janda-janda dan anak-anak piatu pegawai pemerintah.
Apa yang dihasilkan pada Kongres Perempuan Indonesia pertama memperlihatkan: Pendobrakan terhadap feodalisme dan konservatisme yang ‘mengurung’ perempuan di ruang domestik; Kesadaran bahwa permasalahan-permasalahan yang dialami perempuan, berupa berbagai sikap diskriminatif, ketimpangan dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, tak akan berakhir tanpa perubahan arah kebijakan politik; dan Kesadaran bahwa kemajuan bangsa tidak dapat tercapai tanpa keterlibatan perempuan di ruang publik, khususnya ruang politik. Dengan kata lain, keterlibatan perempuan secara aktif dalam menentukan arah politik menjadi syarat mutlak.
Tanggal pembukaan Kongres Perempuan Indonesia pertama 22 Desember 1928, pada kongres ke tiga itu ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Perempuan. Pemerintahan Soekarno pada tahun 1959 menetapkan tanggal tersebut sebagai hari besar nasional (SK Presiden RI No. 316/1959), sebagai penghargaan terhadap kontribusi perempuan dalam perjuangan bangsa. Namun sayangnnya, perjalanan sejarah dan penghargaan yang diberikan oleh pemerintahan Soekarno telah didistorsi oleh kekuasaan Orde Baru. Makna peristiwa Kongres Perempuan Indonesi tahun 1928 telah dikerdilkan dengan sekedar memaknainya sebagai pengabdian perempuan, khususnya ibu, di ranah domestik. Oleh pemerintah Orde Baru perempuan kembali ‘dirumahkan’. Mekanisme ini berhasil menggeser pandangan sebagian besar masyarakat Indonesia. Tanggal 22 Desember diperingati hanya sebagai Hari Ibu, sebagai momen untuk mengucapkan terima kasih kepada perempuan-perempuan, kepada ibu yang telah mengabdikan diri sekedar dalam urusan sumur, dapur dan kasur!
Kesadaran dan semangat kaum perempuan Indonesia pada tahun 1928 sesungguhnya masih hidup hingga saat ini. Penelitian yang dilakukan Kalyanamitra, Juni-Agustus 2008, dengan responden kalangan bawah di wilayah DKI, menunjukkan masyarakat, khususnya para ibu, sangat mengharapkan politisi perempuan dapat menolong mereka ke luar dari jerat krisis ekonomi. Mereka sangat berharap politisi perempuan mampu memberi solusi untuk persoalan ekonomi, diantaranya terkait harga BBM, sembako dan biaya pendidikan untuk anak-anak. Artinya, masyarakat memahami bahwa persoalan bangsa saat ini juga membutuhkan dan menuntut kerja keras dan perjuangan perempuan di wilayah politik.
Kartini dengan jelas menulis di catatan hariannya bahwa ia menginginkan kedinamisan perempuan Sunda. Konon dalam salah satu perjalanannya ke Bandung, ia bertemu dengan sejumlah perempuan Bandung dan menyaksikan “kebebasan” para perempuan Sunda –seraya ia mengandaikan diri “kalau saja saya menjadi perempuan yang terlahir di Bandung”. Semenjak lama, tanah Sunda rupanya telah memberikan “kebebasan” lebih kepada kaum perempuan ketimbang tanah lain. Entah karena sistem legenda Sunda meletakkan perempuan sebagai pusat cerita dan penyelesai masalah (seperti Purbasari Ayuwangi) atau memang telah tumbuh kesadaran masyarakat Sunda bahwa perempuan memang patut diberi ruang.
Menurut Nina Lubis —sejarawan dari Sastra Unpad, jika perjuangan emansipasi perempuan yang digelorakan R.A. Kartini hanya sebatas ide atau gagasan, Dewi Sartika justru dengan pelaksanaannya langsung. “Dewi Sartika mah jeung prakna. Ia benar-benar mendirikan insitusi pendidikan pertama bagi kaum perempuan di negeri ini. Tidak saja dengan pikiran dan tenaga, tetapi juga dengan biaya sendiri” katanya. Dewi Sartika adalah keturunan ménak dari Raden Rangga Somanagara dengan Raden Ayu Rajapermas yang dilahirkan 4 Desember 1884 di Bandung, yang juga merupakan keturunan Raden Aria Adipati Wiranatakusumah VI, cucu dari the founding father Bandung. Tujuh tahun setelah Uwi (panggilan Dewi Sartika) lahir, Rangga Somanagara dilantik menjadi Patih Bandung.
Sebut saja Mak Eroh, ia adalah perempuan Sunda yang “bertenaga dan bersemangat seribu lelaki”. Terdorong dari “spirit ibu-nya” yang harus memenuhi kebutuhan banyak pihak, ia membelah bukit, mengalirkan air kehidupan bagi sanak saudaranya. Dalam hal upaya menghadirkan air bagi kehidupan, Mak Eroh dapat dirujukkan pada perjuangan Siti Hajar yang mengalirkan Air Zamzam berdasar tanggung jawabnya.
Perempuan lain adalah Puni, namanya Tri Mumpuni (44 tahun), yang mengajari warga di belbagai pelosok Indonesia membuat listrik murah (mikrohidro). Bermula dari Desa Curugagung, Subang, Jawa Barat ia memulai pekerjaan tidak biasa, membuat listrik sendiri dengan berbekal air terjun kecil. Begitu mimpi itu berhasil, ia mengembara ke pelbagai pelosok negeri: menunggang kuda menembus hutan-hutan Sulawesi, di Toraja ia menyisir sungai-sungai kering serta perbukitan gamping rawan longsor, semuanya dilakukan untuk menyebar ideal yang sama “listrik bagi diri sendiri”. Tidak hanya itu,Puni pun diundang pemerintah Filipina, Kamerun, dan Nepal untuk membuka kemungkinan pembangunan mikrohidro.
Tak hanya Mak Eroh atau Teh Puni, perempuan Sunda yang lain pun benar-benar “bukan perempuan biasa”. Pada saat Bandung terkena serangan DBD, media ini pernah memuat perjuangan tiga orang Ibu rumah tangga yang masuk keluar rumah tetangga-tetangganya untuk memeriksa kolam –atau apapun yang menjadi tempat genangan air– seraya membersihkannya dari jentik nyamuk secara suka rela. Seraya mereka mengeluarkan filosofi, “satu rumah saja terkena DB, semua warga akan juga terkena, jadi jentik nyamuk di rumah siapapun menjadi tanggung jawab bersama”. Lalu ada juga perempuan dari Indramayu yang nekad telanjang bulat membentuk pagar hidup di batas desa untuk membendung serang desa tetangga dalam peristiwa rusuh antar desa –yang lazim di Indramayu. Lalu karena malu menemukan “ketelanjangan” dan mitos apesnya ilmu-ilmu kesaktian bila melihat “ketelanjangan” para penyerang desa itu bubar jalan dan tawuran teratasi.
Perjuangan Seorang Ibu Bernama Inggit
Pagi hari ini kita berada di depan makam seorang perempuan yang luar biasa. Yang hanya dikenang sebagai perempuan yang mengongkosi rumah tangga dengan berjualan bedak sari pohaci dan rokok kolobot. Kita tidak pernah berpikir bahwa dari kerja kerasnya seorang lelaki bisa jadi Bapak Pendiri Bangsa. Lewat strateginya Bung Karno meski dalam penjara, mampu membeli Koran dapat membujuk penjaga untuk meminjamkan buku-buku di perpustakaan penjara. Buku-buku yang mengilhaminya untuk menulis pembelaan di pengadilan tahun 1930, pembelaan “Indonesia Menggugat.”
Inggit Garnasih, jelas perempuan luar biasa, dengan berani ia sembunyikan buku-buku di balik kebayanya untuk ia serahkan pada Bung Karno yang kala itu dipenjara. Inggit Garnasih telah berjuang tidak hanya untuk suami dan anak-anaknya. Inggit Garnasih berjuang untuk bangsa, untuk rakyat Indonesia.
Sehari setelah Bung Karno dimakamkan di Blitar, seorang wartawan mewawancarai Inggit Garnasih. “Apa yang ibu terima dari harta pusaka peninggalan Bapak?” Inggit menjawab, “Negara kita ini, untuk kita semua, untuk seluruh rakyat, dan untuk semua keturunan bangsa kita.”1
Kesemua cerita ini jadi bukti bahwa perempuan sesungguhnya memiliki dedikasi dan daya tahan untuk melakukan sesuatu yang ‘tidak biasa’. Persoalannya tinggal sedikit saja, apakah kita hendak membiarkan potensi ini menguap begitu saja atau menjadi modal untuk maju? Apakah kita, kaum perempuan hanya akan menangis merenungi penderitaan, kemiskinan, dan kesengsaraan. Apakah kita hanya akan berdiam diri menyaksikan ketidakadilan yang terus menerus terjadi di sekitar kita? Atau kita akan jadi bagian dari orang-orang yang terus berjuang menggoreskan makna dalam hidup, bukan untuk diri sendiri, bukan untuk keluarga sendiri, tapi untuk bangsa ini.
22 Desember 2008 tepat 80 tahun peringatan Kongres Perempuan Indonesia. Rasanya tak berlebihan jika perayaan kali ini mengembalikan arti dan makna tanggal tersebut. Memperingati tanggal 22 Desember adalah memperingati 80 tahun bangkitnya perempuan Indonesia melawan pemiskinan dan pembodohan! 22 Desermber adalah hari kembalinya hak dan kewajiban politik perempuan Indonesia! Saatnya Perempuan Berpolitik untuk Kesejahteraan Rakyat. Bangkit Perempuan Sunda, Bangun Perempuan Indonesia! Selamat Hari Kebangkitan Perempuan Indonesia!
Tanggal 21 Desember 2008