Tim Perempuan Pendaki Unpar Taklukkan Puncak Aconcagua
MONGABAY.CO.ID – Setelah hampir satu bulan berpetualang ke negeri seberang, Tim perempuan-pendaki yang tergabung dalam The Women of Indonesia’s Seven Summits Expedition (Wissemu), Mahasiswa Pencinta Alam (Mahitala) Universitas Parahyangan Bandung, akhirnya berhasil menapakkan kaki di puncak gunung tertinggi keempat dunia. Sang saka Merah Putih pun dapat berkibar di ketinggian 6.962 meter di atas permukaan laut (mdpl) di Puncak Gunung Aconcagua, Argentina, Amerika Selatan.
Gunung Aconcagua merupakan puncak gunung keempat yang berhasil didaki Tim Wissemu sebagai rangkaian ekspedisi menggapai tujuh puncak tertinggi di tujuh benua. Tim Wissemu beranggotakan tiga orang mahasiswi aktif Unpar yaitu Fransiska Dimitri Inkiriwang (22), Mathilda Dwi Lestari (22), dan Dian Indah Carolina (20). Mereka sebelumnya telah mencapai puncak Gunung Kilimanjaro, Tazmania, Afrika, puncak Gunung Elbrus, Rusia dan puncak Gunung Carstensz Pyramid, Papua, Indonesia.
Tim pendaki Wissemu mencapai puncak Gunung Aconcagua, Argentina, Amerika Selatan, berketinggian 6.962 (mdpl) pada Sabtu, 30 Januari 2016 pukul 17.45 waktu setempat atau Minggu, 31 Januari 2016, waktu Indonesia.
Anggota tim publikasi ekpedisi Mahitala Bandung, Alfon Yoshio, mengabarkan pendakian yang dilakukan tim Wissemu ditempuh selama seminggu. “Pertama perjalanan tim melewati base camp Plaza De Mulas 4.250 mdp untuk beristirahat dan dilanjutkan ke Plaza Canada 4.900 mdpl lima hari kemudian, Nido De Condores 5.400 mdpl sehari setelahnya, Refugio Berlin 5.930 mdpl pada 29 Januari 2016 sebelum beerangkat ke puncak Aconcagua,” tuturnya melalui siaran pers.
Menembus Angin Kencang 50 Km/Jam
Berdasarkan laporan tim publikasi ekpedisi, tim Wissemu merasakan angin kencang dan suhu mencapai -10° Celcius di Refugio Berlin. Dari pantauan cuaca selama pendakian tim Wissemu selalu berhadapan dengan angin yang kencang berkecepatan 50 kilometer per jam.
Pada perjalanan menuju puncak Aconcagua, kata Alfhon, Dian Indah Carolina diputuskan untuk tidak melanjutkan pendakian pada ketinggian 6.300 mdpl, karena mengalami gangguan kesehatan dan diharuskan kembali ke camp-3. Keputusan tersebut diambil mengingat keselamatan personil pendaki adalah hal yang utama dan sangat penting. Maka, untuk melanjutkan summit attack pendakian hanya dilanjutkan oleh Fransiska Dimitri dan Mathilda Dwi Lestari.
“Proses yang panjang dan perjuangan yang tak kenal lelah, akhirnya mengukir keberhasilan mencumbui puncak Gunung Aconcagua, meskipun hanya dua dari tiga anggota tim yang berhasil mengibarkan Merah Putih pada Sabtu, (30/01/2016) pukul 17.45 waktu setempat,” kata dia.
Alfhon menjelaskan, berkat kerja keras dan doa dari semua pihak tim Wissemu dapat mencapai Puncak Aconcagua. ” Tetapi sayang, waktu tetap berjalan dan mereka harus segera turun untuk kembali ke camp Berlin. Kekhawatiran utamanya dalam pendakian menuju `atap’ Argentina ini adalah cuaca yang sangat cepat berubah dengan angin yang tiba-tiba dapat bertiup dengan sangat kencang,”.
Oleh karena itu, lanjut Alfhon mereka tidak dapat berlama-lama di Puncak Aconcagua, walaupun matahari di Amerika Selatan terbenam pada pukul delapan malam. Perjalanan turun menuju camp Berlin juga tergolong tidak mudah, banyak jalur-jalur sulit yang harus mereka lalui kembali dan bertambah sulit ketika digunakan untuk berjalan turun.
Sesampainya di base camp Plaza de Mulas Senin, (01/02/2016), sekitar pukul 20.00 waktu setempat, tim baru bisa mengabarkan dengan detil kepada tim di Bandung mengenai keadaan di sana melalui internet. Tim menceritakan panjangnya jalur menuju puncak dan curamnya tanjakan yang harus mereka hadapi.
Hambatan yang harus dihadapi tim seperti jalur traverse sepanjang 500 meter yang langsung disusul tanjakan terjal Canaleta (6.600 mdpl) sebelum Puncak Aconcagua. Tantangan dalam perjalanan ini masih ditambah dengan angin yang bertiup kencang dalam perjalanan.
Mitra dan Keluarga yang Menguatkan
Setelah dua orang anggotanya berhasil mencapai puncak, tim Wissemu langsung kembali ke Mendoza untuk memeriksakan kondisi Carolina yang mengalami gangguan kesehatan sebelum mencapai puncak. Hasil pemeriksaan medis menunjukkan bahwa Carolina masih harus tinggal di Mendoza untuk menstabilkan kondisi. Sesuai dengan perencanaan awal, kata Alfhon, Mathilda langsung kembali ke Jakarta via Buenos Aires pada Kamis (04/02/2016).
“Keberhasilan mencapai Puncak Aconcagua adalah buah dari tekad yang gigih, stamina yang kuat, dan jiwa optimis yang tinggi. Pelatihan dan persiapan yang serius menjadi persyaratan penting. Di samping itu, dukungan dari berbagai pihak juga sangat berperan. Mulai dari anggota tim, tiga srikandi, yang saling menguatkan, organisasi Mahitala yang solid, orang tua dan sanak-saudara serta teman-teman, semuanya sangat membantu.
Bantuan dari Kedutaan Besar RI di Argentina juga sangat diapresiasi. Demikian juga dengan bantuan dan berbagai bentuk dukungan dari mitra kerjasama amat berharga. Kepribadian yang tangguh, organisasi yang kompak, dan bantuan dari semua pihak membuat kerja keras pendakian ini berhasil. “Terimakasih untuk semuanya,” kata Rektor Unpar, Mangadar Situmorang.
Mengincar Penaklukan Tujuh Puncak Dunia
Fransiska Dimitri Inkiriwang, Mathilda Dwi Lestari, dan Dian Indah Carolina yang bergabung di Wissemu sebelumnya sudah menaklukkan tiga dari tujuh puncak gunung dunia yang mereka cita-citakan untuk ditaklukkan. Dengan dicapainya puncak Aconcagua, Tim Wissemu berhasil mencontreng empat gunung, masih tiga lagi di hadapan yang harus mereka taklukkan.
Sebelumnya, tim yang beranggotakan Fransiska Dimitri Inkiriwang, Mathilda Dwi Lestari, dan Dian Indah Carolina ini telah berhasil melakukan pendakian ke puncak Cartenz Pyramid (Indonesia) setinggi 4.884 meter di atas permukaan laut, puncak Kilimanjaro (Afrika) setinggi 5.985 meter di atas permukaan laut, dan puncak Elbrus (Rusia) setinggi 5.642 meter di atas permukaan laut.
Dalam jumpa pers pra-Aconcagua, Fransiska Dimitri Inkiriwang yang akrab disapa Didi menjelaskan, selain jalurnya yang panjang, Aconcagua yang terletak di jajaran Pegunungan Andes memiliki cuaca dingin yang ekstrim ditambah badai angin yang sangat berbahaya dan dikenal dengan sebutan el viento blanco. Tiga dara dari tim Wissemu mendedikasikan pendakian tersebut kepada Norman Edwin dan Didiek Samsu, pendaki asal Indonesia yang gugur pada tahun 1992 saat mendaki
Sulitnya jalur pendakian Aconcagua ini membuat persiapan dan perencanaan dilakukan dengan sangat matang. Dalam persiapan tersebut tim Wissemu melakukan latihan mental dengan melakukan yoga serta olah fisik menjadi jadwal harian. Kemudian hal teknis lainnya seperti pengenalan medan, bedah peta, latihan navigasi, dan peralatan.
Belajar Tentang Sampah Gunung
Didi menambahkan, selain ingin mencapai target pendakian, tim Wissemu juga ingin mencermati manajemen pengelolaan gunung di Seven Summits (Tujuh Puncak Dunia), seperti menilik aspek limbah pendakian yang diatur ketat. Didi mencontohkan pengelolaan pendakian di gunung Elbrus yang ketat sampai mengatur hal kecil seperti larangan buang air di sembarang tempat.
“Kemudian kebijakan di Kilimanjaro, di sana mereka melarang pendaki untuk membawa botol minum plastik sekali pakai harus membawa botol yang isi ulang. Apabila kedapatan membawa barang tersebut pendaki dikenakan sanksi dan pendakiannya dibatalkan. Bagi saya itu peraturanya ketat sekali,” ujarnya.
Tiga mahasiswi pendaki Wissemu Unpar saat di puncak Gunung Kilimanjaro, Afrika setinggi 5.985 mdpl. (Foto: Tim Wissemu Unpar)
Menurut Didi, kebijakan yang diterapkan di luar negeri sangat memungkinkan dan relevan diterapkan di Indonesia.”Dari referensi tadi sebetulnya kita bisa menerapkan itu semua di sini (Indonesia) secara berkala. Permasalahan sampah di gunung bisa diatasi dengan kebijakan yang dibuat oleh pihak pengelola agar keindahan gunung tetap asri.”
Salah seorang anggota lainnya, Dian Indah Carolina mengatakan keindahan alam Indonesia tidak kalah dengan negara-negara lain. Penggunaanya pun mempunyai keunikan tersendiri, mulai dari kearifan lokal yang beragam hingga kekayaan alamnya. Dia menyesalkan dengan kelebihan yang dimiliki tidak diimbangi dengan kepedulian oleh masyarakatnya sendiri.
“Sebetulnya misi dan visi pendakian kami lebih kepada menginspirasi perempuan untuk terus berjuang. Kegiatan yang sering digeluti pria ternyata perempuan juga bisa melakukanya,” pendaki Dian Indah Carolina.
Berdasarkan situs www.7summits.com, hasil update terbaru mencatat hanya 348 orang saja di dunia yang sudah berhasil menaklukkan Seven Summits dan yang masuk hitungan The Seven Summiteers. Kebanyakan masih didominasi oleh kaum lelaki. Tercatat, Indonesia baru mengirimkan beberapa orang yang masuk ke jajaran tersebut, namun belum ada perwakilan perempuannya.
Dukungan Penuh dari Unpar
“Pendakian ini merupakan sebuah misi yang tidak bisa dihitung secara data kuantitatif, karena kegiatan ini mengemban misi besar dan tentunya membanggakan,” kata Rektor Unpar, Mangadar Situmorang.
Pihaknya mendukung penuh pendakian tim Wissemu Mahitala yang nantinya dapat mencatat sejarah bagi pendakian Indonesia. Bila pendakian tujuh puncak dunia ini terselesaikan, maka Unpar akan mengukir prestasi sebagai perguruan tinggi pertama di Indonesia yang berhasil mengirim para pendaki putra dan putrinya melakukan pencapaian di tujuh puncak gunung tertinggi tersebut :: MONGABAY.CO.ID/ jan+feb2016
Source: Tim Pendaki Wanita Unpar Berhasil Ke Puncak Aconcagua | Mongabay.co.id