Marni Tinggalkan Bungkus Kertas Semen Untuk Majukan Usaha
Sumarni mulai usahanya dengan berbekal modal nol, hanya kain kilo-an pemberian orangtuanya. Ayah Marni membuatkan kios kecil-kecilan di alun-alun utara kota Solo, Jawa Tengah, sebagai tempat usaha awal. Karena butuh dana awal untuk membeli ini-itu, Marni rela menjual andalannya, yaitu sepeda butut yang setia membawanya ke sana ke mari.
“Terus terang, ketika itu saya tidak bercita-cita menjadi pedagang, yang sebenarnya, kami bercita-cita jadi pendidik,” ujarnya. Oleh karena itu hal, pada tahun 1973 kami keluar sekolah guru (SGB), mulailah ia berdagang, berjualan mulai pukul delapan pagi hingga sore hari. Marni tidak sendirian, semua anggota keluarga ikut andil dalam usaha ini. Kedua saudaranya, Suprapti, dan Purwati, selalu ikut membantunya. Misalnya, Marni memcari bahan baku, saudaranya itu ikut menjahit dan menjual setelah berbentuk pakaian jadi. Biasanya dagangan ditawarkan di pasar atau kepada teman-teman sekolah. “Ini bisnis keluarga, kami melakukannya bersama-sama,” ujarnya.
Pada mulanya keadaan memang terasa berat, pada waktu itu berbagai cobaan menerpa Marni. Karena sering pulang sore, tidak memperhatikan anak, walaupun sebenarnya sudah ada yang mengurusi. Karena sering bepergian mencari bahan ke luar kota, cemoohan pun datang juga dari tetangganya. Ia dipergunjingkan “punya pekerjaan lain” di samping menjual pakaian. Namun, Marni tidak patah arang dan terus bedagang. Cemoohan itu ditepisnya walau dengan sedih hati. Selain itu, selama berdagang Marni kerap kali terpaksa membayar pungli (pungutan liar) yang diminta oleh para oknum tidak bertanggung jawab.
Pertama kali berdagang di alun-alun utara tahun 1973. Tetapi setelah Pasar Klewer dibangun, Marni pindah dan mengontrak Los Pasar Klewer. Di tempat baru itu, mulanya ia mendapatkan omzet yang hasilnya pas-pasan saja, cukup untuk makan saja. Namun ternyata makin hari pendapatannya kian meningkat, sampai saat ini mencapai Rp 9.000.000,- per hari.
Biasanya Marni menjual dagangannya itu dengan hanya dibungkus kertas semen atau plastik kresek seadanya. “Akan tetapi, rupanya langkah kami ini salah. Ternyata banyak pembeli dari luar kota yang datang, dan setelah sampai di rumah mereka tidak tahu alamat usaha kami. Maka untuk promosi, sebagai pembungkus kami memilih plastik yang beri cap ‘Toko Bintang Leo’,” ujarnya. Jika ada keuntungan lebih, Marni selalu menabung, di samping membeli sedikit demi sedikit peralatan penunjang, untuk menjaga mutu, agar usahanya selalu mengikuti tren pasar.
Demikianlah usahanya terus berkembang. Kiosnya yang jumlahnya cuma satu lambat laun ditambah hingga kini mencapai 3 kios. Usahanya dikembangkan tidak hanya menjual pakaian melainkan juga kain sutra, sprei dan kebaya tradisional. “Ini juga siasat untuk merangkul konsumen dari berbagai kalangan,” katanya. Lewat aneka kreasinya kesuksesan pun mampu dicapai.
Marni, perempuan asli Solo ini terlahir di keluarga pedagang. Kedua orang tuanya, Tukiyem dan Suradi (alm), berasal dari Wonogiri. Mereka selalau giat berwirausaha, pernah menjadi pedagang kayu, mengelola warung makan dan kelontongan, sampai menjadi penjual kain blacu di Pasar Klewer. Sumarni ternyata akhirnya mengikuti jejak orangtua meskipun cita-cita semasa kecil ingin menjadi guru, seperti yang kini kejadian dengan sepupu-sepupunya yang sebaya.
Tanpa penyesalan sedikit pun, Marni bulat dalam pilihan hidupnya. “Mental harus kuat dan percaya diri, nggak usah malu atau gengsi,” kata ibu tiga anak ini. Menurutnya, yang penting adalah kesabaran, ketekunan, dan totalitas. Apabila hendak terjun ke dalam suatu usaha, di bidang apa pun, Marni percaya akan berhasil apabila pelakunya menguasai setiap detail. “Saya tidak sekadar menjual kain, tetapi saya bisa membuat pakaian,” begitu pendapat pengelola “Toko Bintang Leo” yang cukup dikenal di kota Solo. Bentuknya sederhana, tetapi terutama kiosnya di Los 124 Pasar Klewer selalu ramai pengunjung, sedikitnya 50 orang sehari.
Kunci keberhasilan Marni adalah kreativitas yang terus ada, yang selalu menghadirkan tawaran dagangan yang segar. Ide-ide karya jahitannya sering berasal dari usulan pelanggan. Karya-karyanya, karena sangat diminati, dengan sendirinya menjadi bahan tiruan bagi pedagang-pedagang pesaingnya. Marni menyatakan dirinya tidak kuatir, justru ia berbesar hati karena dapat memberi inspirasi kepada pengusaha-pengusaha lain. Kesuksesan tidak membuatnya terlena atau lupa. Ia selalu giat menjaga keunggulan mutu dengan senantiasai belajar dari berbagai sumber, termasuk mendengarkan masukan dari pelanggan.
Ketekunan Marni berwirausaha memampukan dirinya untuk menghidupi dan menyekolahkan anak-anaknya hingga selesai sejak suami meninggal dunia pada tahun 1979. Selain itu, usahanya juga memampukan banyak orang di sekitarnya yang ikut bersama membangunnya dari nol hingga pol.
berdasarkan tulisan >> Dwi Anggraheni Hermawati SE Staf BPP-YIS Solo <http://yis.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=29&Itemid=38>
foto >> gapura pintu masuk Pasar Klewer, Solo, Jawa Tengah.