Ketimpangan Gender Rugikan Indonesia US$ 2,4juta Setahun

genderequal1[GLOBALFMLOMBOK] – Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melaporkan pada tahun 2008, bahwa Indonesia rugi US$ 2,4 juta per tahun akibat ketimpangan gender. Beberapa penyebab tingginya angka kekerasan dan diskriminasi berbasis gender kepada perempuan di Indonesia antara lain adalah kultur masyarakat yang masih patriarkis dan kurangnya political will serta law enforcement dalam menerapkan UU RI No. 17 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.

“Selama 24 tahun ini, permasalahan yang dialami perempuan Indonesia masih cukup banyak, “ ungkap Ketua Badan Pembina Lembaga Partisipasi Perempuan (LP2) Jakarta, Adriana Venny, dalam pelatihan jurnalis tentang peran media dalam mengurangi kekerasan berbasis gender di Indonesia, di Hotel Grand Legi Mataram, NTB, pada bulan Agustus 2008.

Venny mengatakan, sistem pemerintahan dengan pola desentralisasi memungkinkan tiap daerah membuat peraturan daerah (perda) sendiri. Namun, perda yang dihasilkan tersebut, lanjut Venny, tidak gender responsive. Ia mencontohkan, Perda No. 8 tahun 2005 di Kotamadya Tangerang.

Di tingkat dunia, Human Development Index (HDI) mengurut Indonesia pada pada posisi 81 dari 277 negara. Hal itu disebabkan, dari 1,3 juta penduduk miskin Indonesia, 70 persen adalah perempuan. Faktor lain yang mempengaruhinya, sebut Venny, adalah tingkat buta huruf perempuan yang mencapai 65 persen dari 90 juta penduduk Indonesia yang buta huruf. Betapa tidak, akses perempuan masuk di dunia pendidikan masih rendah. Bahkan, dua per tiga penduduk dunia yang buta huruf adalah dari kalangan perempuan. Selain itu, hanya 11 persen perempuan duduk di parlemen dan 10 persen perempuan duduk di eselon I.

Diperkirakan bahwa di seluruh dunia, 80 persen dari 500 ribu manusia yang diperdagangkan lintas perbatasan setiap tahunnya adalah perempuan dewasa maupun remaja. Di banyak negara, dari total dua juta anak yang dieksploitasi melalui prostitusi dan pornografi, sebanyak 85 persen adalah anak perempuan. “Secara umum faktor pendukung yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan kekerasan berbasis gender adalah kurangya penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), penyalahguanaan kekuasaan dan ketidakadilan gender itu sendiri,“ paparnya.

Venny menyebutkan, hampir 82 juta anak perempuan di seluruh dunia yang berumur 10-17 tahun, pada saat laporan ditulis, akan menikah sebelum mencapai umur 18 tahun. Hal itulah lanjutnya, yang menyebabkan kematian ibu usia 15-19 tahun akibat komplikasi dari kehamilan muda. Tentu, kondisi itu membawa keprihatian tersendiri bagi masyarakat dunia.

Di Indonesia, ungkap Venny, angka kematian ibu melahirkan masih tinggi, yakni 307 orang dari seratus ribu kelahiran. Kematian ibu di Indonesia lebih disebabkan aborsi yang tidak aman dan sulitnya mengakses pelayanan kesehatan reproduksi bagi perempuan. Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) melaporkan, hampir 25 persen kekerasan seksual terjadi setiap tahunnya pada kaum perempuan. “Kekerasan berbasis gender terjadi berupa fisik, psikis, seksual dan ekonomi,“ jelasnya.

Venny meminta agar media massa, baik cetak maupun elektronik dapat turut dalam upaya membangkitkan kesadaran masyarakat akan pentingnya persamaan hak antara perempuan dan laki–laki. Hal itu dinilai penting, agar kualitas hidup baik itu perempuan dan laki-laki memperoleh manfaat dari pembangunan. “Peran media sangat strategis untuk itu,“ tegasnya.

sumber >>http://partisipasiperempuan.uni.cc

Leave a Reply