Aleta Ba’un Hadang Eksploitasi Marmer Alam Di NTT
KOMPAS – Raut wajah Aleta Ba’un sedih ketika ditemui di Desa Tune, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, pertengahan Juni 2007.
Rambutnya kusam tak terurus. Rupanya sudah setahun ia tak bersua keluarganya. Pada tanggal 24 Agustus 2007, saat muncul di Jakarta, wajahnya berseri karena menerima Anugerah Saparinah Sadli. Anugerah Saparinah Sadli adalah penghargaan untuk “Pencapaian Perempuan Indonesia” di bidang sosial dan pemberdayaan masyarakat. Aleta meraih penghargaan itu terutama untuk komitmennya terhadap perjuangan keadilan, pemberdayaan, dan perbaikan kondisi perempuan.
Ia adalah Koordinator Oat dan penggiat masyarakat di Timor Barat. Sejak tahun 1993 ia membantu suku adat Molo melindungi sumber daya alam dari pencemaran pertambangan pualam di Kabupaten SoE, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Jadi, di lapangan, orang mendapati Aleta yang berpenampilan lusuh. Dia harus kerap bepergian, meninggalkan keluarga, karena diancam akan dibunuh pihak yang merasa dirugikan. “Bahkan, preman bayaran pernah mengancam nyawa saya,” katanya. Sampai Juni lalu, Aleta masih dicari-cari preman bayaran.
“Sejak Juni 2006 itulah saya meninggalkan rumah. Hidup berpindah dari satu desa ke desa lain. Masyarakat desa menampung saya, memberi makan-minum sekaligus mengamankan,” cerita ibu tiga anak ini.
Semua itu bermula saat ia bergabung dengan Yayasan Sanggar Suara Perempuan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) tahun 1993. Lembaga yang menangani masalah perempuan, seperti jender, kematian ibu melahirkan, kekerasan rumah tangga, kesehatan reproduksi, dan perdagangan perempuan ke luar negeri.